Jumat, 13 Juni 2014

LEMBANNA, DESA DI ATAS AWAN


foto: Caco
Kabut menutupi sepanjang jalan yang saya dan teman-teman UKPM Unhas tempuh dari kawasan hutan pinus Malino ke Desa Lembanna (31/5/14). Salah satu desa yang berada di dataran tinggi Malino Gowa yang selalu ramai oleh para pendaki sebagai tempat persinggahan.
Lembanna sejak dulu terkenal sebagai salah desa yang sangat akrab bagi para pecinta alam di Sulawesi Selatan. Pada masa liburan dan akhir pekan ratusan pendaki bersiap dari rumah-rumah warga untuk mendaki Gunung Bawakaraeng dan Lembah Ramma. 2 destinasi pendakian favorit para pendaki dari berbagai daerah. Perjalanan dari Kota Makassar menuju Desa Lembanna, Malino Kabupaten Gowa dapat ditempuh selama 2 jam lamanya.
“Orang tua dulu bilang kalau di kaki gunung Bawakaraeng akan dikelilingi ular hitam dan lipan. Nah sejak ramai kendaraan lalu lalang sekarang jalanan beraspal sudah ada mengelilingi kaki gunung. Mungkin itu perkataannya orang tua kami dulu yang sekarang jadi kenyataan” ujar Tata Rasyid, salah satu penduduk desa yang sangat akrab dengan para pendaki. Selanjutnya mari menilik cerita dari desa di atas awan ini.
Sejarah awal
Bermukimnya warga di Lembanna berawal dari pindahnya sekelompok kepala keluarga dari kawasan Batu Lapis Malino atas perintah Pemerintah Kerajaan Gowa pada tahun 1932. Pindahnya warga dari Batu Lapis diakibatkan pencegahan tercemarnya sumber mata air yang berada di kawasan itu. Kemudian Pemerintah Kerajaan Gowa saat itu menawarkan sebuah daerah di dataran tinggi yang berada di bawah kaki Gunung Bawakaraeng untuk mereka tempati. Warga pun menyetujui setelah diberikan kebebasan untuk menggarap lahan yang berada di dataran tersebut. Lembanna sendiri memiliki artian tempat berkumpulnya banyak orang. 

foto: Caco
  
                Perekonomian warga
            Berada di dataran tinggi yang memiliki suhu udara yang sejuk sepanjang hari menjadikan tanah di Lembanna sangat subur untuk ditanami berbagai macam sayur-sayuran. Hal ini dimanfaatkan warga untuk menggarap tanah tersebut sebagai sumber penghasilan mereka. Hasil perkebunan seperti wortel, kentang, tomat, dan bawang menjadi komoditas andalan yang memiliki nilai jual bagus di pasar yang dipanen 3 kali dalam setahun. Hasil perkebunan tersebut kemudian dijual di berbagai daerah seperti Gowa, Sinjai, Makassar, Maros bahkan menyebrang ke Pulau Kalimantan. Selain berkebun sebagian warga juga membuka warung-warung kecil di rumah mereka sebagai sumber penghasilan tambahan.
            Warga dan Pendaki
            Berada di bawah kaki Gunung Bawakaraeng menjadikan Desa Lembanna sebagai salah satu tempat persinggahan wajib para pendaki. Untuk mendaki Gunung Bawakaraeng sendiri terdapat 2 jalur yang dapat ditempuh yaitu lewat Lembanna, Gowa dan Sinjai Barat. Dari keterangan Tata Rasyid, pendaki mulai masuk di Lembanna tahun 1971 dan mulai ramai pada tahun 1992. Pendaki-pendaki pertama yang masuk ke Desa Lembanna menjalin hubungan yang sangat baik dengan warga desa. Warga desa yang memiliki pengetahuan medan mumpuni tentang jalur ke Gunung Bawakaraeng sering dimintai bantuan oleh para pendaki. Begitupun dengan pendaki, mereka turut andil dalam mengenalkan bahasa Indonesia baku kepada warga saat itu. Bahkan mereka bisa tinggal berhari-hari di Lembanna untuk mengajarkan bahasa Indonesia kepada warga desa. Sayangnya hari ini banyak pendaki yang sekedar menjadikan rumah warga sebagai tempat persinggahan kendaraan pribadi saja. Tanpa berniat mengenal siapa empunya rumah yang mereka percayai menjaga barang berharga milik mereka. Meskipun begitu rumah warga selalu terbuka bagi mereka setiap saat.
foto: Caco
            Sebagai desa persinggahan menuju Gunung Bawakaraeng menjadikan Desa Lembanna tak pernah sepi. Keramaian tersebut menjadi sumber cerita tersebarnya kabar Lembanna sebagai destinasi yang memiliki daya tariknya sendiri. Selain menikmati pemandangan alam pedesaan yang asri anda juga dapat mengunjungi air terjun Lembanna yang berjarak 1 km dari desa, anda dijamin akan merasakan ketenangan dan kesejukan.