Kita hidup dimasa yang lucu. Terlalu lucu
untuk ditertawai. Bukan karena lawakan verbal atau akting jenaka yang membuat
terpingkal. Tapi karena kebodohan tiada tara yang justru berasal dari sekelompok
orang yang memperkenalkan dirinya sebagai seorang pendidik di Kampus Merah. Kelompok
yang memiliki tugas mulia dalam mencerahkan masyarakat dan menjadi panutan bagi
mereka yang mereka didik. Kenyataannya dalam kurun 2 tahun terakhir cerita
pengebirian lembaga kemahasiswaan, sanksi akademik yang irasional hingga
pembunuhan karakter mahasiswa yang dilakukan oleh birokrasi yang bebal semakin
menggema. Dengan semangat world class
university kerja-kerja lembaga kemahasiswaan dimata-matai, penyeragamaan
pola pikir dan penampilan juga turut mereka urusi. Sampai ke titik dimana
panjangnya rambut seorang mahasiswa atau yang akrab disebut “gondrong”
dijadikan barometer baru dalam pemberian sanksi akademik di fakultas kehutanan
semester ini.
Gondrong, riwayatmu dulu
Menurut
awal mula sejarah, rambut gondrong dipopulerkan pertama kali oleh suatu
kelompok yang melakukan counter culture,
yakni kaum Hippies di tahun 1960-an
di Amerika Serikat. Hippies memiliki
ciri khas yang berbeda dengan fashion umum lainnya, mereka memakai pakaian
warna – warni, berpakaian seenaknya, rambut dibiarkan panjang tak dicukur, dan
memelihara jenggot bagi kaum pria. Hippies
dijadikan dasar gerakan untuk bebas dari budaya yang dominan saat itu serta
mengharapkan terjadinya perubahan sosial dan politik diantaranya, gerakan anti
perang Vietnam dan hak asasi manusia, gerakan mahasiswa, perempuan, gerakan hak
kaum homoseksual, dan pelestarian lingkungan hidup.
Di
Indonesia, menjamurnya model rambut gondrong tidak lepas dari pengaruh musik
rock yang di dominasi musisi yang berambut gondrong. Sebut saja, Godbless, Gang
Pegangsaan dan Slank. Rambut mereka yang panjang menjadi simbol kebebasan anak
muda saat itu dalam berkarya di dunia seni.
Dalam
perkembangnya, budaya rambut gondrong di Indonesia mendapat kecaman dari
pencitraan yang diberitakan media. Stereotyping
lelaki berambut gondrong disimbolkan sebagai identitas seorang pelaku kriminal.
Hal ini dapat di lihat lewat judul-judul pemberitaan yang mendiskreditkan
rambut gondrong seperti yang dimuat di harian Pos Kota pada Oktober 1973: “7
Pemuda Gondrong Merampok Bis Kota”, “Waktu Mabuk di Pabrik Peti Mati: 6 Pemuda
Gondrong Perkosa 2 Wanita” dan “5 Pemuda Gondrong Memeras Pakai Surat Ancaman”.
Upaya mengkriminalisasikan rambut gondrong menjadi salah satu cara Orde Baru
pada saat itu mengontrol gejolak dan ketidakpuasan generasi muda terhadap
kekuasaan pada saat itu.
Di
Unhas sendiri fenomena gondrong tidak jarang untuk ditemui. Hampir di semua
fakultas mahasiswa berambut gondrong dapat kita jumpai. Bahkan banyak dosen
yang dulunya dikenal sebagai aktivis juga memanjangkan rambutnya. Ketua KPK
yang berasal dari fakultas hukum pun, Abraham Samad dikenal sebagai aktivis
tulen dengan rambut gondrong pada zamannya.
Aturan dan akal sehat
Perlahan-lahan birokrasi fakultas memberlakukan aturan baru tentang cara
berpakaian yang dianggap sopan bagi mahasiswanya. Mulai dari pakaian, alas
kaki, hingga tata krama dalam kelas. Dalam kacamata mahasiwa aturan yang
diberlakukan tersebut dianggap wajar untuk menghargai proses belajar formal
dalam kelas. Tetapi lain halnya ketika panjang rambut seorang mahasiswa pun
harus diurusi dan berpengaruh terhadap nilai sampai penjatuhan sanksi akademik.
Birokrasi sebagai pihak yang memiliki kuasa dalam pembuatan aturan melakukan
reproduksi wacana yang sadis kepada
mahasiswa berambut gondrong. Focault mengatakan, “pada saat kuasa
terkonsolidasikan menjadi 'dominasi', resistensi masih tetap mungkin dilakukan,
hanya saja jauh lebih sulit dilakukan. Dominasi sendiri menunjuk pada relasi
kuasa yang bersifat asimetris yang didalamnya orang-orang yang tersubordinasi
memiliki sedikit ruang untuk bermanuver karena 'ruang kebebasan untuk bertindak
sangat terbatas' oleh karena efek dari kuasa”. Berlakunya larangan berambut
gondrong adalah pelanggaran hak asasi manusia yang bersifat an sich bagi mahasiswa. Apalagi aturan
yang dibuat tidak berlandas dari aturan
yang jelas dari dirjen pendidikan nasional ataupun renstra universitas
melainkan hanya akal-akalan birokrasi saja.
Fenomena
larangan gondrong tak boleh dianggap sebagai masalah sepele bagi civitas
akademika Unhas. Seperti penyakit yang mewabah, virusnya akan menyebar ke
setiap fakultas jika riak-riak perlawanan urung muncul dari kawan-kawan
fakultas kehutanan. Kita jangan lupa arogansi birokrasi fakultas teknik yang menjatuhkan
sanksi akademik bagi mahasiswanya yang menyebar ke birokrasi fakultas sastra
beberapa waktu lalu.
Panjang
atau pendek rambut seorang mahasiswa adalah pilihannya sendiri. Penulis yakin
seorang yang waras tidak akan menemukan relevansi antara rambut pendek ataupun
gondrong dengan isi kepala seorang mahasiswa. Kecuali…logika kita telah mati!
Penulis Zulfikar
Anggota UKPM Unhas
0 komentar:
Posting Komentar