Jumat, 21 Maret 2014

HILANGNYA KEADILAN DI KAMPUS MERAH

foto : LAW Unhas

Keadilan itu hilang, beriringan dengan akreditasi yang di raih mati-matian. Melahirkan cerita baru tentang penindas dan mereka yang tertindas.”

Kata keadilan menjadi sesuatu yang ramai di perjuangkan mahasiswa universitas hasanuddin akhir-akhir ini. Sesuatu yang di nilai begitu langka dan mahal bagi mereka yang menuntut keadilan itu. Kampus sebagai almamater kaum terdidik menjadi terasingkan oleh tingkah laku mereka yang mengaku sebagai “pendidik”. Sejak Unhas mendapat label akreditasi A oleh BAN PT tahun lalu, beragam anomali aturan kemudian dikeluarkan Komisi Disiplin fakultas. Regulasi yang ada di buat dengan asumsi phobia terhadap kegiatan kemahasiswaan dan mahasiswa yag dapat merusak citra kampus di masyarakat. Mereka yang terlibat dalam polemik lembaga kemahasiswaan, berpenampilan tidak rapi, tak segan di jatuhi sanksi akademik, skorsing dan drop out oleh Komdis fakultas. Dengan alasan melanggar, Komdis tak segan melakukan tindakan represi dengan alasan pembenarannya.
Dengan bertopeng Komisi Disiplin, dosen-dosen terpilih menggunakan kuasanya menjatuhkan satu per satu sanksi kepada mahasiswa yang di anggapnya bebal. Dosen sebagai pendidik dalam institusi pendidikan merupakan pihak yang memiliki tanggung jawab melahirkan generasi intelektual yang berani, cerdas dan peka terhadap berbagai ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat. Generasi yang kritis, berpikiran bebas dan idealis dalam menyalurkan semangat mudanya. Tapi bilamana keadaan terbalik, dimana kampus mengekang gerakan mahasiswa dengan aturan yang mengada-ada, maka kampus tak ubahnya hanya menjadi sebuah pabrik. Pabrik yang menciptakan buruh siap kerja. Buruh yang selalu tunduk dengan segala aturan yang dibuat oleh sang majikan.
      Beragam cerita kemudian lahir dari perjuangan mahasiswa-mahasiswa yang menuntut keadilan. Dari fakultas kehutanan semangat perlawanan itu menggugat.
      Awal semester ini fakultas kehutanan di hebohkan dengan aturan cara berpakaian yang di keluarkan birokrasi fakultas. Aturan yang mengatur etika, cara berpakaian, bahkan panjang rambut mahasiswanya. Etika dan cara berpakaian dalam ruangan kelas jelas tak menjadi soal, tapi ketika panjang rambut atau akrab di sebut “gondrong” turut mereka urusi sontak aturan tersebut memicu perdebatan. Adakah orang waras yang bisa menjelaskan korelasi panjang rambut dengan isi kepala? bukankah isi kepala di tentukan bagaimana seorang mahasiswa rajin mengasah otaknya dengan berkuliah dalam kelas ataupun berproses di lembaga kemahasiswaan?. Aturan kontroversial tersebut jelas sangat lucu bagi kampus yang terkenal sebagai kampus terbesar di indonesia timur. Intervensi cara berpakaian dan penampilan kemudian di jadikan senjata untuk mengadili mahasiswa di fakultas kehutanan.
     Akumulasi kekecewaan terhadap ancaman komdis fakultas tak hanya terjadi di fakultas kehutanan. Di fakultas teknik, mahasiwa teknik yang berada di fakultas teknik samata Gowa di larang mengikuti proses pengkaderan tingkat jurusan yang di laksanakan Himpunan Mahasiswa Jurusan FT UH di Tamalanrea. Ancamannya tak main-main, jika melawan skorsing dan DO menjadi solusi. Penggiat lembaga kemahasiswaan Teknik tak diam lembaga kemahasiswaan mereka dikebiri, Aliansi Teknik Menggugat siap memberikan perlawanan.
         Keharmonisan itu telah luntur. Masalah-masalah yang seharusnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan telah digantikan sikap otoriter birokrasi. Beragam ancaman di keluarkan untuk mengekang gerakan mahasiswa. Tekananan – tekanan yang muncul membuat legitimasi pendidik menjadi bias. Keluhan-keluhan dari mahasiswa di tanggapi dingin oleh pengadilan komdis yang hanya akan menimbulkan masalah baru.  Upaya menyeragamkan model mahasiswa adalah sebuah kesalahan besar yang nantinya akan menciptakan mahasiswa yang hanya tahu Kuliah – Kantin - Rumah.
         Dunia kampus hari ini begitu kejam, perilaku pendidik yang hanya bisa mengintervensi mahasiswanya dengan aturan dan ancaman hukuman mencoreng citra kampus sebagai rumah kaum intelektual. Birokrasi harusnya membuka ruang dialog atas segala masalah yang terjadi. Perenungan juga harus dilakukan birokrasi untuk memperbaiki kinerjanya yang mendapat kritikan. Bukan dengan langsung menjatuhkan sanksi dan melakukan tindakan represi. Kerena ketika hal tersebut membudaya, maka mahasiswa hanya menjadi kaum yang ditindas. Alhasil ketika birokrasi menutup mata terhadap berbagai masalah yang terjadi maka keadilan hanya menjadi sekedar cita-cita bagi mereka yang memperjuangkannya. 

0 komentar:

Posting Komentar