foto : LAW Unhas |
“Keadilan
itu hilang, beriringan dengan akreditasi yang di raih mati-matian. Melahirkan
cerita baru tentang penindas dan mereka yang tertindas.”
Kata keadilan menjadi
sesuatu yang ramai di perjuangkan mahasiswa universitas hasanuddin akhir-akhir ini.
Sesuatu yang di nilai begitu langka dan mahal bagi mereka yang menuntut
keadilan itu. Kampus sebagai almamater kaum terdidik menjadi terasingkan oleh tingkah
laku mereka yang mengaku sebagai “pendidik”. Sejak Unhas mendapat label
akreditasi A oleh BAN PT tahun lalu, beragam anomali aturan kemudian
dikeluarkan Komisi Disiplin fakultas. Regulasi yang ada di buat dengan asumsi phobia
terhadap kegiatan kemahasiswaan dan mahasiswa yag dapat merusak citra kampus di
masyarakat. Mereka yang terlibat dalam polemik lembaga kemahasiswaan, berpenampilan
tidak rapi, tak segan di jatuhi sanksi akademik, skorsing dan drop out oleh
Komdis fakultas. Dengan alasan melanggar, Komdis tak segan melakukan tindakan
represi dengan alasan pembenarannya.
Dengan bertopeng Komisi
Disiplin, dosen-dosen terpilih menggunakan kuasanya menjatuhkan satu per satu
sanksi kepada mahasiswa yang di anggapnya bebal. Dosen sebagai pendidik dalam
institusi pendidikan merupakan pihak yang memiliki tanggung jawab melahirkan
generasi intelektual yang berani, cerdas dan peka terhadap berbagai
ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat. Generasi yang
kritis, berpikiran bebas dan idealis dalam menyalurkan semangat mudanya. Tapi
bilamana keadaan terbalik, dimana kampus mengekang gerakan mahasiswa dengan
aturan yang mengada-ada, maka kampus tak ubahnya hanya menjadi sebuah pabrik.
Pabrik yang menciptakan buruh siap kerja. Buruh yang selalu tunduk dengan
segala aturan yang dibuat oleh sang majikan.
Beragam
cerita kemudian lahir dari perjuangan mahasiswa-mahasiswa yang menuntut
keadilan. Dari fakultas kehutanan semangat perlawanan itu menggugat.
Awal
semester ini fakultas kehutanan di hebohkan dengan aturan cara berpakaian yang
di keluarkan birokrasi fakultas. Aturan yang mengatur etika, cara berpakaian,
bahkan panjang rambut mahasiswanya. Etika dan cara berpakaian dalam ruangan
kelas jelas tak menjadi soal, tapi ketika panjang rambut atau akrab di sebut
“gondrong” turut mereka urusi sontak aturan tersebut memicu perdebatan. Adakah
orang waras yang bisa menjelaskan korelasi panjang rambut dengan isi kepala?
bukankah isi kepala di tentukan bagaimana seorang mahasiswa rajin mengasah
otaknya dengan berkuliah dalam kelas ataupun berproses di lembaga kemahasiswaan?.
Aturan kontroversial tersebut jelas sangat lucu bagi kampus yang terkenal
sebagai kampus terbesar di indonesia timur. Intervensi cara berpakaian dan
penampilan kemudian di jadikan senjata untuk mengadili mahasiswa di fakultas
kehutanan.
Akumulasi
kekecewaan terhadap ancaman komdis fakultas tak hanya terjadi di fakultas
kehutanan. Di fakultas teknik, mahasiwa teknik yang berada di fakultas teknik
samata Gowa di larang mengikuti proses pengkaderan tingkat jurusan yang di
laksanakan Himpunan Mahasiswa Jurusan FT UH di Tamalanrea. Ancamannya tak
main-main, jika melawan skorsing dan DO menjadi solusi. Penggiat lembaga
kemahasiswaan Teknik tak diam lembaga kemahasiswaan mereka dikebiri, Aliansi
Teknik Menggugat siap memberikan perlawanan.
Keharmonisan
itu telah luntur. Masalah-masalah yang seharusnya bisa diselesaikan secara
kekeluargaan telah digantikan sikap otoriter birokrasi. Beragam ancaman di
keluarkan untuk mengekang gerakan mahasiswa. Tekananan – tekanan yang muncul
membuat legitimasi “pendidik” menjadi bias. Keluhan-keluhan dari mahasiswa di tanggapi dingin oleh
pengadilan komdis yang hanya akan menimbulkan masalah baru. Upaya menyeragamkan model mahasiswa adalah
sebuah kesalahan besar yang nantinya akan menciptakan mahasiswa yang hanya
tahu Kuliah – Kantin - Rumah.
Dunia
kampus hari ini begitu kejam, perilaku pendidik yang hanya bisa mengintervensi
mahasiswanya dengan aturan dan ancaman hukuman mencoreng citra kampus sebagai
rumah kaum intelektual. Birokrasi harusnya membuka ruang dialog atas segala masalah
yang terjadi. Perenungan juga harus dilakukan birokrasi untuk memperbaiki
kinerjanya yang mendapat kritikan. Bukan dengan langsung menjatuhkan
sanksi dan melakukan
tindakan represi. Kerena ketika hal tersebut membudaya, maka mahasiswa hanya
menjadi kaum yang ditindas. Alhasil ketika birokrasi menutup mata terhadap
berbagai masalah yang terjadi maka keadilan hanya menjadi sekedar cita-cita
bagi mereka yang memperjuangkannya.
0 komentar:
Posting Komentar