Kabut menutupi sepanjang
jalan yang saya dan teman-teman UKPM Unhas tempuh dari kawasan hutan pinus Malino ke Desa Lembanna (31/5/14). Salah satu desa yang
berada di dataran
tinggi Malino Gowa yang selalu ramai
oleh para pendaki sebagai tempat persinggahan.
Lembanna sejak dulu
terkenal sebagai salah desa yang sangat akrab bagi para pecinta alam di Sulawesi Selatan.
Pada masa liburan dan akhir pekan ratusan pendaki bersiap dari rumah-rumah warga untuk mendaki Gunung Bawakaraeng dan
Lembah Ramma. 2 destinasi pendakian favorit para pendaki dari
berbagai daerah.
Perjalanan dari Kota Makassar menuju Desa Lembanna, Malino Kabupaten Gowa dapat
ditempuh selama 2 jam lamanya.
“Orang tua dulu bilang
kalau di kaki gunung Bawakaraeng akan dikelilingi ular hitam dan
lipan. Nah sejak ramai kendaraan lalu lalang sekarang jalanan beraspal sudah
ada mengelilingi kaki gunung. Mungkin itu perkataannya orang tua kami dulu
yang sekarang jadi kenyataan” ujar Tata Rasyid, salah satu
penduduk desa yang sangat akrab dengan para pendaki. Selanjutnya mari menilik
cerita dari desa di atas awan ini.
Sejarah awal
Bermukimnya warga di Lembanna berawal dari pindahnya sekelompok kepala
keluarga dari kawasan Batu Lapis Malino atas perintah Pemerintah Kerajaan Gowa
pada tahun 1932. Pindahnya warga dari Batu Lapis diakibatkan pencegahan
tercemarnya sumber mata air yang berada di kawasan itu. Kemudian Pemerintah
Kerajaan Gowa saat itu menawarkan sebuah daerah di dataran tinggi yang berada
di bawah kaki Gunung Bawakaraeng untuk mereka tempati. Warga pun menyetujui
setelah diberikan kebebasan untuk menggarap lahan yang berada di dataran
tersebut. Lembanna sendiri memiliki artian tempat berkumpulnya banyak orang.
foto: Caco |
Perekonomian warga
Berada di dataran tinggi yang
memiliki suhu udara yang sejuk sepanjang hari menjadikan tanah di Lembanna
sangat subur untuk ditanami berbagai macam sayur-sayuran. Hal ini dimanfaatkan
warga untuk menggarap tanah tersebut sebagai sumber penghasilan mereka. Hasil
perkebunan seperti wortel, kentang, tomat, dan bawang menjadi komoditas andalan
yang memiliki nilai jual bagus di pasar yang dipanen 3 kali dalam setahun.
Hasil perkebunan tersebut kemudian dijual di berbagai daerah seperti Gowa,
Sinjai, Makassar, Maros bahkan menyebrang ke Pulau Kalimantan. Selain berkebun
sebagian warga juga membuka warung-warung kecil di rumah mereka sebagai sumber
penghasilan tambahan.
Warga
dan Pendaki
Berada
di bawah kaki Gunung Bawakaraeng menjadikan Desa Lembanna sebagai salah satu
tempat persinggahan wajib para pendaki. Untuk mendaki Gunung Bawakaraeng
sendiri terdapat 2 jalur yang dapat ditempuh yaitu lewat Lembanna, Gowa dan
Sinjai Barat. Dari keterangan Tata Rasyid, pendaki mulai masuk di Lembanna
tahun 1971 dan mulai ramai pada tahun 1992. Pendaki-pendaki pertama yang masuk
ke Desa Lembanna menjalin hubungan yang sangat baik dengan warga desa. Warga desa
yang memiliki pengetahuan medan mumpuni tentang jalur ke Gunung Bawakaraeng
sering dimintai bantuan oleh para pendaki. Begitupun dengan pendaki, mereka
turut andil dalam mengenalkan bahasa Indonesia baku kepada warga saat itu.
Bahkan mereka bisa tinggal berhari-hari di Lembanna untuk mengajarkan bahasa
Indonesia kepada warga desa. Sayangnya hari ini banyak pendaki yang sekedar
menjadikan rumah warga sebagai tempat persinggahan kendaraan pribadi saja. Tanpa
berniat mengenal siapa empunya rumah yang mereka percayai menjaga barang
berharga milik mereka. Meskipun begitu rumah warga selalu terbuka bagi mereka
setiap saat.
foto: Caco |
Sebagai desa persinggahan menuju
Gunung Bawakaraeng menjadikan Desa Lembanna tak pernah sepi. Keramaian tersebut
menjadi sumber cerita tersebarnya kabar Lembanna sebagai destinasi yang
memiliki daya tariknya sendiri. Selain menikmati pemandangan alam pedesaan yang
asri anda juga dapat mengunjungi air terjun Lembanna yang berjarak 1 km dari desa, anda dijamin akan merasakan ketenangan dan kesejukan.
0 komentar:
Posting Komentar