Kamis, 03 Oktober 2013

REZIM MEDIA, PERGULATAN ANTARA IDEALISME DAN KEPENTINGAN ELIT



Runtuhnya zaman orde baru membuka keran bagi era baru demokrasi di Indonesia. Yang kemudian berimplikasi terhadap menguatnyanya aksi individu dan kelompok sosial untuk mengembalikan eksistensi hak-hak dasar mereka yang sebelumnya telah terpenjara rezim otoriter. Pun dengan media-media cetak maupun elektronik, yang selama orde baru seakan menjadi burung yang berkicau dalam sangkarnya melakukan reformasi dalam berita yang dihadirkan. Bahkan seiring berkembangnya antusias masyarakat dalam berdemokrasi, media kemudian berubah menjadi pilar demokrasi baru dengan “kuasa” yang dimilikinya.

Sejatinya media telah memberikan sumbangsi yang besar bagi perjalanan bangsa Indonesia. Sebelum orde baru media massa Indonesia merupakan forum untuk mengekspresikan aspirasi nasionalisme dan agitasi politik. Surat kabar seperti Sunda Berita dan Medan Prijaji yang hadir pada tahun 1903 adalah segelintir media yang menggambarkan situasi politik di Indonesia dan memberikan interpretasi terhadap situasi tesebut dari sudut pandang nasionalistis. Dengan ciri utama “mencari untung bukanlah motif” isi dari media massa yang berkembang masih tetap pada perjuangan untuk kemerdekaan, sehingga kerja profesionalisme wartawan waktu itu memiliki dua sisi penting, yaitu sebagai jurnalis mereka bertanggung jawab untuk memberikan dan melaporkan informasi kepada pembacanya dan sebagai tokoh politik mereka berjuang untuk kemerdekaan negerinya.

Tuntutan idealisme
Kerja-kerja jurnalis hari ini tidak jarang menarik perhatian masyarakat sebagai konsumen berita. Dimana media massa tidak lagi memproduksi berita berdasarkan public need tetapi kemudian bergeser menjadi kebutuhan industri semata, yang mendistorsi peran media sebagai sebuah perantara dalam penyampaian informasi tetapi telah berubah menjadi relasi antara produsen dan konsumen. Revolusi Industri media yang dipengaruhi kepentingan pemilik menjadikan media sebagai produk kapitalis baru  dimana produk yang dihasilkan telah direkayasa sedemikian rupa demi kebutuhan pasar. Tidak jarang kemudian wacana yang diproduksi media dipertanyakan hakikat kebenarannya berdasarkan kuatnya pengaruh eksternal dan pasar dalam pembentukan wacana tersebut.

Jurnalistik sebagai jalur independen dan otonom dalam demokrasi mestinya menjalankan perannya secara optimal untuk menciptakan iklim demokrasi yang sehat. Dibatasinya ruang ekspresi jurnalis pada rezim orde baru melalui mekanisme sensor dan pemberian SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) kini memang sudah tak ditemui lagi dalam aturan-aturan pers yang dibuat oleh pemerintah. Walaupun begitu tentu saja masih ada batasan-batasan etika yang harus dipatuhi oleh jurnalis sendiri. Kerja jurnalistik harus berada dalam tradisi kritis yang mengedepankan objektivitas dan keseimbangan, bukan cuman aktualitas apalagi sensasionalitas. Seharusnya informasi yang tersaji dalam media melalui kerja jurnalistik mengedepanakan fakta-fakta yang berkonteks pada terciptanya ruang public. Proses mencari, memperoleh, menghimpun dan menyampaikan informasi jurnalistik dalam iklim kebebasan pers merupakan basis dalam kehidupan public agar warga masyarakat dapat ikut ambil bagian dalam proses demokrasi kehidupan Negara.

Dominasi Kepentingan
Terbukanya ruang industrialisasi media melahirkan beragam media cetak, televisi, radio dengan ciri khasnya tersendiri. Berbagai format acara dan berita pun dihadirkan untuk memenuhi kebutuhan pasar. Mulai dari sinema elektronik (sinetron), acara music live dan tayangan gossip atau infotainment yang membanjiri jam tayang televisi swasta Indonesia. Program-program lain  yang diproduksi dalam format komedi yang hadir pada jam primetime juga menjadi tontonan wajib bagi pemirsa televisi. Yang pada akarnya hanya berorientasi terhadap hiburan semata. Ketatnya persaingan yang timbul mengharuskan stasiun tv untuk sekreatif mungkin dalam membuat program agar menempati rating pertama di masyarakat. Kenyataannya tidak jarang program yang dibuat merupakan jiplakan dari program-program yang telah sukses dari tv asing. Bahkan untuk memperbanyak income ,durasi program yang dibuat harus dimaksimalkan agar bisa memuat iklan sebanyak mungkin. Sehingga porsi jam tayang mengenai pemberitaan maupun pendidikan kalah bersaing dari program hiburan yang disebabkan kepentingan industri semata.

Kuatnya pengaruh media televisi menjadi magnet tersendiri bagi politisi Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, dengan dibelinya saham mayoritas beberapa stasiun tv swasta oleh politisi partai menjadikan media televisi menjadi arena pertarungan baru di dunia politik Indonesia. Sebut  saja Antv dan Tv One yang kemudian turut melakukan revolusi menjadi stasiun tv berita, sayangnya berita yang dihadirkan hampir tak pernah menyentuh “negative news” mengenai sang pemilik. Sedangkan di stasiun tv lain, menjadikan kebobrokan pemerintah dalam menjalankan tugas sebagai headline pemberitaan tiap harinya. Penyebabnya sederhana, kuatnya pengaruh  yang dimiliki pemilik untuk membangun pencitraan politik dan menjatuhkan citra dari lawan poltiknya

Rezim media telah menggiring kita ke era baru dimana begitu kuatnya hegemoni media dalam pembentukan wacana dalam proses bernegara. Pesatnya kemajuan teknologi dan tingginya kebutuhan masyarakat akan informasi seakan menjadi ruang bagi media untuk menguatkan eksistensinya sebagai perantara informasi. Sejatinya lebih terbukanya ruang kebebasan pers yang diperoleh tidak lantas menjadikan media memproduksi pemberitaan yang kebablasan dan jauh dari independensi jurnalistik. Media yang memiliki peran sentral dalam poros demokrasi mesti bertahan dalam jalur independen untuk terciptanya iklim bernegara yang sehat melalui pemberitaan yang berkualitas dan berintegritas.