Runtuhnya zaman orde baru membuka keran bagi era baru demokrasi di Indonesia. Yang kemudian berimplikasi terhadap menguatnyanya aksi individu dan kelompok sosial untuk mengembalikan eksistensi hak-hak dasar mereka yang sebelumnya telah terpenjara rezim otoriter. Pun dengan media-media cetak maupun elektronik, yang selama orde baru seakan menjadi burung yang berkicau dalam sangkarnya melakukan reformasi dalam berita yang dihadirkan. Bahkan seiring berkembangnya antusias masyarakat dalam berdemokrasi, media kemudian berubah menjadi pilar demokrasi baru dengan “kuasa” yang dimilikinya.
Sejatinya media telah memberikan
sumbangsi yang besar bagi perjalanan bangsa Indonesia. Sebelum orde baru media
massa Indonesia merupakan forum untuk mengekspresikan aspirasi nasionalisme dan
agitasi politik. Surat kabar seperti Sunda
Berita dan Medan Prijaji yang
hadir pada tahun 1903 adalah segelintir media yang menggambarkan situasi
politik di Indonesia dan memberikan interpretasi terhadap situasi tesebut dari
sudut pandang nasionalistis. Dengan ciri utama “mencari untung bukanlah motif” isi dari media massa yang berkembang
masih tetap pada perjuangan untuk kemerdekaan, sehingga kerja profesionalisme
wartawan waktu itu memiliki dua sisi penting, yaitu sebagai jurnalis mereka
bertanggung jawab untuk memberikan dan melaporkan informasi kepada pembacanya
dan sebagai tokoh politik mereka berjuang untuk kemerdekaan negerinya.
Tuntutan idealisme
Kerja-kerja jurnalis hari ini
tidak jarang menarik perhatian masyarakat sebagai konsumen berita. Dimana media
massa tidak lagi memproduksi berita berdasarkan public need tetapi kemudian bergeser menjadi kebutuhan industri
semata, yang mendistorsi peran media
sebagai sebuah perantara dalam penyampaian informasi tetapi telah berubah
menjadi relasi antara produsen dan konsumen. Revolusi Industri media yang
dipengaruhi kepentingan pemilik menjadikan media sebagai produk kapitalis baru dimana produk yang dihasilkan telah direkayasa
sedemikian rupa demi kebutuhan pasar. Tidak jarang kemudian wacana yang
diproduksi media dipertanyakan hakikat kebenarannya berdasarkan kuatnya
pengaruh eksternal dan pasar dalam pembentukan wacana tersebut.
Jurnalistik sebagai jalur
independen dan otonom dalam demokrasi mestinya menjalankan perannya secara
optimal untuk menciptakan iklim demokrasi yang sehat. Dibatasinya ruang
ekspresi jurnalis pada rezim orde baru melalui mekanisme sensor dan pemberian
SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) kini memang sudah tak ditemui lagi
dalam aturan-aturan pers yang dibuat oleh pemerintah. Walaupun begitu tentu
saja masih ada batasan-batasan etika yang harus dipatuhi oleh jurnalis sendiri.
Kerja jurnalistik harus berada dalam tradisi kritis yang mengedepankan
objektivitas dan keseimbangan, bukan cuman aktualitas apalagi sensasionalitas. Seharusnya
informasi yang tersaji dalam media melalui kerja jurnalistik mengedepanakan
fakta-fakta yang berkonteks pada terciptanya ruang public. Proses mencari,
memperoleh, menghimpun dan menyampaikan informasi jurnalistik dalam iklim kebebasan
pers merupakan basis dalam kehidupan public agar warga masyarakat dapat ikut
ambil bagian dalam proses demokrasi kehidupan Negara.
Dominasi Kepentingan
Terbukanya ruang industrialisasi
media melahirkan beragam media cetak, televisi, radio dengan ciri khasnya tersendiri.
Berbagai format acara dan berita pun dihadirkan untuk memenuhi kebutuhan pasar.
Mulai dari sinema elektronik (sinetron), acara music live dan tayangan gossip
atau infotainment yang membanjiri jam tayang televisi swasta Indonesia.
Program-program lain yang diproduksi dalam
format komedi yang hadir pada jam primetime juga menjadi tontonan wajib bagi
pemirsa televisi. Yang pada akarnya hanya berorientasi terhadap hiburan semata.
Ketatnya persaingan yang timbul mengharuskan stasiun tv untuk sekreatif mungkin
dalam membuat program agar menempati rating pertama di masyarakat. Kenyataannya
tidak jarang program yang dibuat merupakan jiplakan dari program-program yang
telah sukses dari tv asing. Bahkan untuk memperbanyak income ,durasi program yang dibuat harus dimaksimalkan agar bisa
memuat iklan sebanyak mungkin. Sehingga porsi jam tayang mengenai pemberitaan
maupun pendidikan kalah bersaing dari program hiburan yang disebabkan
kepentingan industri semata.
Kuatnya pengaruh media televisi
menjadi magnet tersendiri bagi politisi Indonesia. Dalam beberapa tahun
terakhir, dengan dibelinya saham mayoritas beberapa stasiun tv swasta oleh
politisi partai menjadikan media televisi menjadi arena pertarungan baru di
dunia politik Indonesia. Sebut saja Antv
dan Tv One yang kemudian turut melakukan revolusi menjadi stasiun tv berita,
sayangnya berita yang dihadirkan hampir tak pernah menyentuh “negative news” mengenai sang pemilik. Sedangkan
di stasiun tv lain, menjadikan kebobrokan pemerintah dalam menjalankan tugas
sebagai headline pemberitaan tiap harinya. Penyebabnya sederhana, kuatnya
pengaruh yang dimiliki pemilik untuk
membangun pencitraan politik dan menjatuhkan citra dari lawan poltiknya
Rezim media telah menggiring kita
ke era baru dimana begitu kuatnya hegemoni media dalam pembentukan wacana dalam
proses bernegara. Pesatnya kemajuan teknologi dan tingginya kebutuhan masyarakat
akan informasi seakan menjadi ruang bagi media untuk menguatkan eksistensinya
sebagai perantara informasi. Sejatinya lebih terbukanya ruang kebebasan pers
yang diperoleh tidak lantas menjadikan media memproduksi pemberitaan yang
kebablasan dan jauh dari independensi jurnalistik. Media yang memiliki peran
sentral dalam poros demokrasi mesti bertahan dalam jalur independen untuk
terciptanya iklim bernegara yang sehat melalui pemberitaan yang berkualitas dan
berintegritas.
0 komentar:
Posting Komentar