Nama Miangas mungkin sedikit terdengar asing di telinga kita. Letaknya yang berada di beranda terdepan NKRI mungkin menjadi salah satu penyebabnya. Kalaupun ada berita menarik dari Miangas, mungkin baru bisa kita dapatkan ketika peringatan hari Kemerdekaan di pulau-pulau terluar Indonesia. Penamaan Miangas sendiri memiiki 2 versi. Yang pertama ialah Las palmas yang berarti pohon palem yang diberikan orang portugis karena bentuknya yang seperti buah palem. Dan Miangas yang diberikan oleh masyarakatnya sendiri yang berarti menangis.
Secara geografis Pulau miangas terletak di 05° 34′ 02″ U 126° 34′ 54″ T, di Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Yang menarik dari Miangas ialah hanya butuh waktu lebih kurang 3 jam untuk sampai ke kota Davao, ibukota provinsi Pilipina Selatan di pulau Mindanau dengan menggunakan kapal Pamboat (kapal kecil) sedangkan butuh waktu setidaknya 8 jam untuk sampai ke pulau Karatung yang merupakan pulau terdekat dalam wilayah Kepulauan Nanusa. Letak miangas inilah yang tidak dapat menghindarkan terjadinya akulturasi budaya antara suku Talaud dan Kesultanan Sulu di Miangas.
Posisi pulau Miangas yang terletak di perbatasan antara Indonesia dengan Pilipina tentunya sangat rawan mengenai sengketa kepemilikan. Apalagi letak miangas yang lebih dominan ke dalam wilayah Pilipina daripada Indonesia. Berangkat dari sejarah, sengketa kepemilikan pulau Miangas pernah terjadi antara 2 negara yang menjajah negara-negara diatas yakni Belanda dan Amerika serikat. Pada tahun 1906 Jendral Leonard Wood (Gubernur provinsi Moro) pada saat masa kolonialisme Amerika di Pilipina melakukan kunjungan ke pulau Miangas yang ia anggap masih merupakan wilayah kekuasaannya. Tetapi alangkah terkejutnya dia ketika disana melihat bendera Belanda berkibar disertai klaim atas pulau Miangas. Keadaan ini membuat Amerika mengajukan keberatan kepada Belanda dengan berkompromi secara politis mengenai pulau tersebut. Namun karena penyeleasaian secara politis tersebt menuai kegagalan maka Amerika dan Belanda sepakat untuk menyelesaikan dalam koridor hukum melalui Mahkamah Arbitrasi parmanen pada tanggal 23 januari 1925.
Tetapi Keputusan yang dijatuhkan oleh Arbitrator Max hubber tanggal 4 April 1928 dimenangkan oleh Belanda. Max Hubber berpendapat bahwa pembuktian dari pihak Amerika tidak cukup kuat karena hanya didasarkan pada perjanjian Paris 1898 yang berisi penyerahan hak-hak teritorial Spanyol ke Amerika serikat dan tidak adanya bukti administrasi serta kependudukan berkelanjutan setelah perjanjian Paris dilakukan. Sementara Belanda telah melakukan otorisasi dengan kependudukan atas pulau Miangas dalam waktu yang lama. Oleh karena itulah Putusan final arbitrase tentang klaim Amerika Serikat tidak terbukti karena Belanda lebih memberi kesan kepedulian dengan kegiatan yang dilakukannya di Miangas.
Seiring dengan kemerdekaan Indonesia yang di proklamasikan pada tahun 1945. Maka semua wilayah Indonesia yang pernah dijajah oleh Belanda dan Jepang merupakan bagian integral dari kekuasaan Republik indonesia. Hal ini dikuatkan lagi dengan UU No. 4 Tahun 1960 mengenai perairan Indonesia. Sejak saat itulah tidak pernah terjadi sengketa kepemilikan mengenai pulau Miangas antara Indonesia dan Pilipina. Bahkan kedua negara saling bekerjasama satu sama lain dalam bidang keamanan berupa perjanjian ekstradisi dan bidang imigrasi berupa kemudahan dalam berpergian antar kedua negara. Hal ini ditandai dengan adanya kantor perwakilan Pilipina di Miangas yang berwenang dalam pengurusan passport sementara bagi warga yang ingin bepergian ke Pilipina.
Tidak dapat dinafikkan kondisi kekinian pulau-pulau terluar di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Pembangunan infrastrukur dan tenaga profesional yang rela mengabdikan diri di wilayah perbatasan menjadi sebuah potret problematika klasik di Indonesia. Akses yang sampai hari ini masih terbatas pada transportasi laut yang masih kurang, ketersediaan tenaga pendidik professional yang masih minim serta profesi dokter yang tak seorangpun berhasil penulis jumpai sewaktu di Miangas menjadi keluhan masyarakat lokal. Pun karena tidak adanya supply BBM dari pertamina sehingga warga mesti berusaha secara “mandiri” untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar melaut mereka membuat betapa sulitnya bagi warga meningkatkan perekonomian mereka.
Ibarat sebuah rumah, wilayah terluar merupakan halaman depan dan perwakilan citra kehidupan sebuah bangsa. Apabila halaman tersebut bersih dan indah maka akan memberikan kesan yang baik bagi siapa saja yang melihatnya, sebaliknya ketika halaman tersebut dijumpai dalam kondisi kotor dan tak terurus tentu saja kepemilikan halaman tersebut akan dipertanyakan.
Sangat miris apabila peristiwa lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan dari kedaulatan NKRI kembali terulang. Negara mestinya memberikan perhatian yang lebih serta mengawasi jalannya pembangunan di pulau-pulau terluar sebagai kewajiban yang harus penuhi. Jangan sampai pada sebuah masa anak-anak Miangas akan mempertanyakan eksistensi dari kepemilikan Miangas akibat terlupakannya rumah mereka sebagai sebuah kesatuan yang paripurna dari NKRI.
Bendera merah putih yang masih berkibar di pulau Miangas merupakan aktualisasi kecintaan mereka terhadap Indonesia. Jangan biarkan cinta itu pudar, Sedikitpun!
Zulfikar
Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin
0 komentar:
Posting Komentar