Freedom
writers tidak termasuk dalam kategori film “box
office” yang menghabiskan ratusan juta dollar dalam penggarapannya,
dibintangi artis Hollywood papan atas, ataupun visual effect yang canggih, film
ini menyajikan drama sederhana yang menceritakan kisah heroik seorang guru dan
para murid dari ruangan 203 menata masa depan mereka dengan melawan kerasnya
kehidupan yang sedang mereka hadapi. Freedom Writers merupakan sebuah karya
inspiratif yang mengajarkan kita kembali bagaimana pentingnya menghargai sebuah
perbedaan, melawan sistem pendidikan birokratis yang terlalu kaku, dan
nilai-nilai kejujuran. Nilai yang mungkin sulit ditemukan dalam tatanan
masyarakat multikultural yang tumbuh dalam konflik berlatarbelakang rasisme dan
primordial yang kuat. Film ini merupakan kisah nyata dari buku harian murid-murid yang berada di ruang
203 sekolah Woodrow Wilson
H.S Long Beach, California, Amerika Serikat. Buku harian tersebut Kemudian
disatukan oleh guru bahasa inggris favorit mereka, Erin Grunwell.
Film
freedom writers berlatar belakang Kondisi Amerika di tahun 1994-1996 yang masih
kental dengan nuansa rasisme, dimana masing-masing ras saling berusaha menyerang
ataupun mempertahankan diri serta wilayah satu sama lain. Kondisi itu pun
terbawa sampai ke sekolah Woodrow Wilson H.S Long Beach, sekolah yang mendapatkan otonomi sekolah
terintegrasi dengan sistem pendidikan multikultural. Di sekolah inilah semuanya
berawal. Dikisahkan dengan masuknya sosok Ms. Grunwell, seorang wanita berpendidikan
tinggi dan idealis yang memutuskan untuk mengajar pertama kalinya di sekolah ini. Kenyataan yang didapatkan
oleh Ms. Grunwell tidak seperti yang dia harapkan. Tidak adanya antusias para
murid dalam menerima pelajaran, gesekan yang dapat timbul hanya karena hal
sepele yang memicu perkelahian dalam kelas dan sentimen miring dari pihak
sekolah sendiri terhadap murid-murid yang dihadapinya. Konflik yang dihadapi
Grunwell tak menciutkan nyalinya dalam mengajar. Dia belajar mengenal muridnya
dengan pendekatan personal kultural dengan memasuki dunia mereka. Dengan musik
rap, permainan kelompok dalam kelas dan pelajaran sejarah kelamnya rasisme
tentang peristiwa pembantaian bangsa Yahudi oleh Nazi di Eropa, “Hollocaust”.
Para murid kemudian di ajak mengenal peristiwa
tersebut melalui tour di museum, membaca buku “Diary of Anna Frank” salah
satu korban peristiwa Hollocaust dan
bertemu dengan Mip Gies, perempuan yang sempat menyelamatkan Anna Frank. Sejarah kelam tersebut akhirnya
mengubah pandangan para murid tentang isu rasisme yang sedang mereka hadapi
dalam lingkungan mereka. Akhirnya sekat antara murid-murid dalam kelas 203 pun
perlahan hilang. Grunwell sendiri kemudian mengajak muridnya untuk menuangkan
keseharian mereka dengan menulis di sebuah buku harian.
Konflik-konflik
yang muncul dalam freedom writers memberikan kondisi sebenarnya dalam isu-isu
rasisme dan primordial yang mungkin kita alami sendiri hari ini dalam bentuk
yang lain. Gesekan rasisme dalam freedom writers digambarkan melalui perang geng
dan perkelahian yang terjadi dalam sekolah oleh para siswa. Di dunia nyata hal
ini dapat terlihat perkelahian atau penyerangan kelompok yang dapat
dilatarbelakangi oleh egosime kelompok, perbedaan kelas ataupun isu agama. Hal
yang tidak bisa di lupakan selanjutnya ialah diskriminasi pendidikan yang
terjadi dalam sekolah. Pembagian kelas berdasarkan warna kulit, penempatan
sebuah kelas yang dipenuhi siswa berprestasi, dan kelas dengan fasilitas yang
lebih memadai dari kelas lainnya. Sekolah sebagai almamater pun jadi penjara
dengan topengnya sendiri.
Film
freedom writers sendiri diangkat dari novel yang berjudul “The Freedom Writers Diary” yang diterbitkan pada tahun 1999. Saya sendiri
belum pernah membaca bukunya secara langsung. Sehingga mungkin saja masih
banyak hal-hal yang belum sempat tersampaikan dalam versi filmya. Meskipun
begitu pesan sederhana yang bisa kita jadikan pelajaran ialah untuk selalu
belajar saling menghargai satu sama lain. Learn to respect and creating peace!
0 komentar:
Posting Komentar