Sabtu, 07 Desember 2013

SISTEM PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA

            
            Seiring dengan terbentuknya Negara modern diberbagai belahan dunia membuat lahirnya beraneka ragam sistem bernegara yang berkembang. Dengan berdasar paham nasionalis dan pengaruh budaya bangsa, Negara-negara harus menyatakan sikap yang tegas mengenai sistem yang digunakan demi berjalannya proses kenegaraan yang stabil. Mulai dari oligarki dan demokrasi muncul sebagai sistem bernegara yang kemudian digunakan negara-negara didunia.
            Oligarki sebagai sistem yang bertahan di Negara kerajaan terbukti mampu memberikan stabilitas keamanan bagi Negara, meskipun sistem ini tidak memungkinkan adanya ruang bagi rakyat biasa menjadi pemimpin tertinggi di negaranya. Lain halnya dengan demokrasi, sebagai sebuah sistem, demokrasi memberikan janji pengaturan sosial yang mempresentasikan ekualitas. Karena itu, demokrasi menjadi sebuah sistem yang sangat ideal untuk mengatur kekuasaan dan partisipasi publik. Pada alam demokrasi, pendapat pejabat, konglomerat, dan rakyat memiliki ekualitas nilai yang setara. Inilah yang menyebabkan demokrasi mencuat sebagai pilihan basis ideology bagi sistem bernegara.
           Bagi Negara yang menganut sistem demokrasi, manifestasi partisipasi publik diwadahi dalam berbagai institusi. Institusi ini kemudian merefleksikan sektor-sektor  pengaturan publik seperti sektor politik, sektor ekonomi, sektor hukum, sektor budaya dan lain-lain. Sehingga sistem demokrasi yang digunakan mesti termanifestasi oleh partisipasi publik untuk menjalankan institusi-institusi tersebut agar proses pemerintahan dapat terlaksana secara demokratis. Dimana pemerintahan demokratis hanya dapat diperoleh melalui suatu mekanisme pemilihan umum yang melibatkan partisipasi publik secara langsung.[1]
Sesuai teori demokrasi klasik pemilu adalah sebuah "Transmission of Belt" sehingga kekuasaan yg berasal dari rakyat bisa bergeser menjadi kekuasaan negara yg kemudian berubah bentuk menjadi wewenang pemerintah untuk melaksanakan pemerintahan dan memimpin rakyat. Pemilihan Umum merupakan salah satu alat dan sarana pelaksanaan kedaulatan yang mendasar pada demokrasi perwakilan di negara. Pemilihan umum juga dapat dirumuskan sebagai mekanisme penyeleksian dan pendelegasian atau penyerahan kedaulatan kepada seseorang calon atau partai yang dipercayai melalui perolehan suara dari masyarakat . Dalam suatu lembaga perwakilan rakyat, seperti DPR atau DPRD, sistem pemilihan ini bisa berupa seperangkat metode untuk mentransfer suara pemilih kedalam suatu kursi dilembaga legislatif atau parlemen. Tetapi , ketika pemilihan itu terjadi pada seorang calon anggota legislatif, sistem pemilihan itu bisa berwujud seperangkat metode untuk menentukan seorang pemenang berdasarkan jumlah suara yang diperolehnya. Singkatnya  , sistem pemilihan ini berkaitan dengan cara pemberian suara, penghitungan suara, dan pembagian kursi.
  • PEMILIHAN UMUM
            Menurut teori demokrasi klasik pemilu merupakan suatu Transmission of Belt sehingga kekuasaan yang berasal dari rakyat dapat beralih menjadi kekuasaan negara yang kemudian menjelma dalam bentuk wewenang pemerintah untuk memerintah dan mengatur rakyat.
Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim - Pemilihan umum merupakan sebuah cara untuk memilih wakil-wakil rakyat. oleh karenanya bagi sebuah negara yang mennganggap dirinya sebagai negara demokratis, pemilihan umum itu wajib dilaksanakan dalam periode tertentu. [2]
Andrew Reynolds menyatakan bahwa Pemilihan Umum adalah metode yang di dalamnya suara-suara yang diperoleh dalam pemilihan diterjemahkan menjadi kursi-kursi yang dimenangkan dalam parlemen oleh partai-partai dan para kandidat. Pemilihan umum merupakan sarana penting untuk memilih wakil-wakil rakyat yang benar-benar akan bekerja mewakili mereka dalam proses pembuatan kebijakan negara.[3]
Untuk Republik Indonesia paling tidak ada tiga macam tujuan pemilihan umum. Ketiga macam tujuan pemilihan umum itu adalah:
  1. memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan secara aman dan tertib
  2. untuk melaksanakan kedaulatan rakyat
  3. dalam rangka melaksanakan hak-hak asasi warga negara.[4]
  • SISTEM PEMILIHAN UMUM
            Sistem Pemilihan Umum merupakan metode yang mengatur serta memungkinkan warga negara memilih/mencoblos para wakil rakyat diantara mereka sendiri. Metode berhubungan erat dengan aturan dan prosedur merubah atau mentransformasi suara ke kursi di parlemen. Mereka sendiri maksudnya adalah yang memilih ataupun yang hendak dipilih juga merupakan bagian dari sebuah entitas yang sama.
Dieter Nohlen mendefinisikan sistem pemilihan umum dalam 2 pengertian, dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas, sistem pemilihan umum adalah “…. segala proses yang berhubungan dengan hak pilih, administrasi pemilihan dan perilaku pemilih." Lebih lanjut Nohlen menyebutkan pengertian sempit sistem pemilihan umum adalah “… cara dengan mana pemilih dapat mengekspresikan pilihan politiknya melalui pemberian suara, di mana suara tersebut ditransformasikan menjadi kursi di parlemen atau pejabat publik."[5]
Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum dengan berbagai variasinya, akan tetapi umumnya berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu:
a.       Single-member Constituency (satu daerah pemilihan memiliki satu wakil; biasanya disebut sistem distrik).
b.      Multi-member Constituency (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil; biasanya dinamakan sistem perwakilan berimbang atau sistem proporsional).[6]
Di samping itu ada beberapa varian seperti Black Vote, Alternative Vote, Sistem Dua Putaran, Sistem Paralel, Limited Vote, Single Non-Transfable Vote, Mixed Member Proportional, dan Single Transfable Vote. Tiga pertama lebih dekat ke sistem distrik, sedangkan yang lain lebih dekat ke sistem proporsional atau semi proporsional.[7]
Selanjutnya akan dijelaskan lebih lanjut mengenai sistem pemilu yang populer digunakan diberbagai Negara, yakni sistem mekanis. Dalam sistem pemilihan mekanis rakyat dianggap sebagai individu-individu yang berdiri sendiri, rakyat inilah sebagai pengendali hak pilih dimana setiap orang mempunyai satu suara. Sistem ini biasanya dilaksanakan dalam dua sistem, yaitu sistem distrik dan sistem proporsional.[8]
·         Sistem Distrik
Dinamakan sistem distrik karena wilayah Negara dibagi dalam distrik-distrik pemilihan (daerah-daerah pemilihan) yang jumlahnya sama dengan jumlah anggota Badan Perwakilan Rakyat yang akan dikehendaki. Umpamanya jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditentukan 500 orang, maka wilayah Negara dibagi dalam 500 distrik pemilihan. Jadi distrik pemilihan diwakili oleh satu orang wakil di Dewan Perwakilan Rakyat. Karena itu dinamakan sistem distrik, atau single member constituencies.[9]
Sistem ini juga dikenal sebagai sistem mayoritas, karena untuk menentukan siapa-siapa yang dipilih sebagai wakil rakyat dari suatu distrik ditentukan oleh siapa yang memperoleh suara terbanyak (suara mayoritas) dan tidak perlu mayoritas mutlak (kemenangan suara 100 persen). Misalnya di distrik A, calon JKW memperoleh suara 10.000, AHK memperoleh suara 8.000, MGA memperoleh suara 5.000, maka yang terpilih sebagai wakil dari distrik A di Badan Perwakilan Rakyat adalah JKW. Jadi tiap distrik diwakili oleh satu orang yang memperoleh suara mayoritas.
a.)    Keuntungan sistem distrik
-          Sistem ini lebih mendorong kea rah integrasi partai-partai politik karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu. Hal ini akan mendorong partai-partai untuk  menyisihkan perbedaan-perbedaan yang ada dan mengadakan kerja sama sekurang-kurangnya menjelang pemilihan umum, antara lain melalui stembuss accord.
-          Fragmentasi partai dan kecenderungan membentuk partai baru dapat dibendung: malahan sistem ini bias mendorong kearah penyederhanaan partai secara alami dan tanpa paksaan.
-          Karena kecilnya distrik, maka wakil rakyat yang terplih dapat dikenal oleh komunitasnya, sehingga hubungan dengan konstituen lebih erat. Dengan demikian si wakil akan lebih cenderung untuk memperjuangkan kepentingan distriknya.
-          Sistem ini lebih sederhana dan murah untuk  diselenggarakan.[10]
b.)    Kelemahan sistem distrik
-          Sistem ini kurang memerhatikan kepentingan partai-partai kecil dan golongan minoritas, apalagi jika golongan-golongan ini terpencar dalam berbagai distrik.
-          Sistem ini kurang representative dalam arti bahwa partai yang calonnya kalah dalam suatu distrik kehilangan suara yang telah mendukungnya. Hal ini berarti bahwa ada sejumlah suara yang tidak diperhitungkan sama sekali, atau terbuang sia-sia. Dan jika banyak partai mengadu kekuatan, maka jumlah suara yang hilang dapat mencapai jumlah yang besar. Hal ini dianggap tidak adil terhadap partai dan golongan yang dirugikan.
-          Sistem distrik dianggap kurang efektif dalam masyarakat yang plural karena terbagi dalam kelompok etnis, religious, dan tribal, sehingga menimbulkan anggapan bahwa suatu kebudayaan nasional yang terpadu secara ideologis dan etnis mungkin merupakan prasyarat bagi suksesnya sistem ini.
-          Ada kemungkinan si wakil cenderung untuk lebih memerhatikan kepentingan distrik serta warga distriknya, daripada kepentingan nasional.[11]
·         Sistem Proporsional
Sistem perwakilan proporsional ialah sistem dimana persentase kursi di Badan Perwakilan Rakyat yang dibagikan kepada tiap-tiap partai politik disesuaikan dengan presentase jumlah suara yang diperoleh tiap-tiap partai politik itu. Umpamanya jumlah pemilih yang sah pada suatu pemilihan umum adalah 10.000.000 orang, dan jumlah kursi di Badan Perwakilan Rakyat ditentukan 100 kursi, berarti untuk satu Badan Perwakilan Rakyat dibutuhkan suara 100.000. Pembagian kursi di Badan Perwakilan Rakyat tersebut tergantung kepada berapa jumlah suara yang didapat setiap partai politik yang ikut pemilihan umum itu.[12]
Agar lebih jelas contoh penghitungannya seperti ini. Jumlah suara suara yang dibutuhkan untuk dapat terpilih sebagai wakil rakyat di Badan Perwakilan Rakyat adalah 10.000 suara. Calon-calon dari partai politik X mendapat suara sebagai berikut ARC dari daerah 1 mendapat 19.000 suara, BDI dari daerah 2 mendapat 9.000 suara, CKE untuk daerah 3 mendapat 7.000 suara dan DRM dari daerah 4 mendapat 5.000 suara. Apabila didasarkan kepada imbangan suara 10.000, maka dari partai politik X yang terpilih hanyalah calon ARC dari daerah 1, sedangkan calon-calon lain tidak memenuhi imbangan suara. Tetapi karena dipraktekkan Hare sistem, maka klebihan suara dari ARC dapat dipindahkan kepada calon BDI, yang akan memperoleh 18.000 suara, kelebihan 8.000 suara dari BDI dapat dipindahkan kepada CKE, sehingga CKE memperoleh 15.000 suara yang berarti masih ada sisa 5.000 suara dan ini dapat dipindahkan ke calon DRM sehingga suaranya cukup 10.000 sesuai dengan imbangan suara yang dibutuhkan. Sehingga tidak ada suara yang terbuang percuma.
a.)    Keuntungan sistem proporsional
-          Sistem proporsional dianggap representative, karena jumlah kursi partai dalam parlemen sesuai dengan jumlah suara masyarakat yang diperoleh dalam pemilihan umum.
-          Sistem proporsional dianggap lebihdemokratis dalam arti lebih egaliteran  karena praktis tanpa ada distorsi, yaitu kesenjangan antara suara nasional dan jumlah kursi dalam parlemen, tanpa suara yang hilang atau wasted. Akibatnya semua golongan dalam masyarakat, termasuk yang kecil pun memperoleh peluang untuk menampilkan wakilnya dalam parelemen. Rasa keadilan masyarkat sedikit banyak  terpenuhi.[13]
b.)    Kelemahan sistem proporsional
-          Lemahnya hubungan antara legislatif terpilih dengan pemilihnya oleh sebab banyaknay calon wakil rakyat yang akan dipilih.
-          Sistem Proporsional juga membuat kantor pusat partai (DPP) memiliki kekuasaan besar untuk menentuk siapa anggota partai yang masuk ke dalam daftar. Akhirnya, Proporsional Daftar sukar dilaksanakan di negara yang tradisi partainya kurang kuat.
-          Sistem proporsional tidak begitu mendukung integrasi partai politik. Jumlah partai yang terus bertambah menghalangi integrasi partai
-          Besarnya kemungkinan wakil lebih terikat dan loyal dengan partai daripada rakyat atau daerah yang di wakilinya

·                              SEJARAH PEMILU DI INDONESIA

Sepanjang sejarah berdirinya NKRI, telah diselenggarakan 10 kali Pemilu anggota lembaga legislatif yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, dan 2009. Pemilu tersebut diselenggarakan sesuai dengan UUD 1945 yaitu:
  • Pasal 18 (3): Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihanumum.
  • Pasal 19 (1): AnggotaDewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum.
  • Pasal 22C (1): Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum; (2) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari seperti jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Berikut ini adalah pemilu-pemilu yang pernah berlangsung di Indonesia:
  • Pemilu 1955, Pemilu di Indonesia pertama kali berlangsung pada tahun 1955 dengan maksud untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Pemilu di Indonesia ini dilaksanakan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR.
Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu. Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955. Tiga besar partai yang menjadi pemenang dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia, Masyumi dan Nahdlatul Ulama
  • Pemilu 1971, Pemilu berikutnya diselenggarakan pada tanggal 3 Juli 1971. Pemilu diikuti oleh 9 Partai politik dan 1 organisasi masyarakat. Tiga besar partai pemenang dalam Pemilu ini adalah Golongan Karya, Nahdlatul Ulama dan Parmusi.
  • Pemilu 1977-1997, Selanjutnya setiap lima tahun sekali Pemilu di Indonesia memilih anggota DPR. Pemilu-Pemilu ini dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu di Indonesia pada tahun ini dilangsungkan pada rezim pemerintahan Presiden Soeharto.
Pemilu di Indonesia masa ini seringkali disebut dengan “Pemilu Orde Baru”. Pemilu tersebut hanya diikuti dua partai politik dan satu Golongan Karya. Kesemuanya dimenangkan oleh Golongan Karya.
  • Pemilu 1999, Pemilu di Indonesia ini dilangsungkan pada tahun pada tanggal 7 Juni 1999 di bawah pemerintahan Presiden BJ Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik. Pemilu ini juga menandai berakihrnya rezim orde baru.Tiga besar Pemilu 1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan
  • Pemilu 2004, Pemilu 2004 berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Selain memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, rakyat juga dapat memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). DPD adalah lembaga perwakilan baru yang ditujukan untuk mewakili kepentingan daerah. Pemilu tahun ini memilih presiden secara langsung.
Pemilu pada 2004 juga merupakan pemilu pertama di mana para peserta dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden pilihan masyarakat (pilpres). Pilpres ini berlangsung dalam dua putaran, karena tidak ada pasangan calon yang berhasil mendapatkan suara lebih dari 50%. Pilpres ini akhirnya dimenangkan oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla.
  • Pemilu 2009, Pemilu tahun 2009 berlangsung pada 8 Juli 2009. Capres Susilo Bambang Yudhoyono yang diusung oleh Partai Demokrat bersama cawapresnya Boediono, berhasil menjadi pemenang dalam satu putaran langsung. Mereka memperoleh suara 60,80%. Mereka mengalahkan pasangan capres-cawapres Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto.[14]
·                                 SISTEM PEMILU IDEAL UNTUK INDONESIA

Penentuan sistem pemilu yang ideal untuk  diterapakan di Indonesia tentunya bukan hal yang mudah, melainkan  berdasarkan yaitu ketentuan dalam konstitusi dan kondisi bangsa Indonesia sendiri. Berdasarkan itu Penulis beranggapan bahwa dalam memilih sistem yang ideal untuk digunakan dalam suatu Negara tentu akan tidak mudah karena sistem yang ada memiliki berbagai kelebihan dan keuntungan, tetapi dalam hal pemilu di Indonesia yang harus di garis bawahi yaitu terkait apa sebenarnya kebutuhan dari Indonesia, sehingga sistem pemilihan yang cocok digunakan di Indonesia ialah sistem pemilihan proporsional dengan pertimbangan:
a.                   Implementasi kedaulatan rakyat
Implementasi kedaulatan rakyat merupakan salah satu tujuan utama diselenggarakannya sebuah pemilihan umum. Dan itu bisa terlaksana apabila setiap pilihan yang dilakukan tetap masuk dalam hitungan jumlah suara dalam pemilu yang tercover dalam sistem proporsional, tidak terbuang seperti halnya yang terjadi dalam sistem distrik
b.                  Cakupan keanekaragaman
Baik dari sisi aliran politik, etnis, maupun agama. Selain itu terdapat keragaman karakteristik wilayah, baik ditinjau dari sisi populasi maupun sumber daya alam. Hal ini tentu juga harus menjadi perhatian untuk menentukan sistem pemilu agar semua keragaman itu terwakili dan tidak menimbulkan kecemburuan yang mengancam integrasi nasional. Sistem proporsional bisa mengcover hal ini karena memberikan ruang yang lebih terhadap peluang suara minoritas untuk mendudukkan wakilnya di parlemen.
Tentunya ada beberapa hal yang juga perlu diperketat untuk membuat pemilu di Indonesia agar lebih sehat, yaitu:
-                      Pendidikan politik kepada masyarakat luas oleh penyelenggara pemilu dan para calon anggota parlemen. Yakni dengan pendekatan atau sosialisasi yang sehat antara sang calon dan pemilih sehingga terjadi kedekatan emosional. Dan menaati segala peraturan kampanye yang ditetapkan oleh penyelenggara pemilu.
-                      Pengaturan partai peserta pemilu, perlu dibuat aturan yang ketat tentang prasyarat partai calon peserta pemilu. Selama ini partai kecil yang turut berpartisipasi terlalu banyak padahal ideology maupun visi yang diusungnya hampir sama dengan partai besar lain.
-                      Persyaratan tentang calon, perlu di buat persyaratan yang ketat dari partai politik tentang para calon yang akan diusungnya. Baik itu tentang tingkat pendidikan yang baik, track record yang bersih, serta dibuatnya komitmen para calon tentang integritas dan visi yang diembannya. Sehingga calon yang diusung memiliki kualitas yang bias dipertanggung jawabkan parpol.
-                      Sanksi yang tegas bagi pelanggar aturan pemilu baik selama kampanye kepada para calon maupun partai politik.

DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo Miriam, Prof, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008
Busroh Abu Daud, Prof., S.H., Ilmu Negara. Jakarta: Bumi Aksara, 2009
Iswandi Syahputra, Rezim Media: Pergulatan Demokrasi, Jurnalisme, dan Infotainment dalam Industri Televisi, Jakarta: Gramedia Pustaka,2013
Budiardjo Miriam, Prof, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008
Busroh Abu Daud, Prof., S.H., Ilmu Negara. Jakarta: Bumi Aksara, 2009
Kusnardi Moh. S.,H. Ibrahim Harmaily S.H., Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta Selatan: Budi Chaniago, 1988





[1] Iswandi Syahputra, Rezim Media: Pergulatan Demokrasi, Jurnalisme, dan Infotainment dalam Industri Televisi (Jakarta: Gramedia Pustaka,2013)
[2] Moh.Kusnardi, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: Sinar Bakti, 1988)

[3] Andrew Reynolds, Merancang Sistem Pemilihan Umum dalam Juan J. Linz, et.al., Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat: Belajar dari Kekeliruan Negara-negara Lain, (Bandung: Mizan, 2001)
[4] Moh.Kusnardi, op.cit., h.330
[5] Dieter Nohlen, Electoral Sistems  (California: Sage Publications, 2008)
[6] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta:Gramedia Pustaka, 2008)
[7] Miriam Budiardjo, op.cit., h.462
[8] Abu Daud Busroh, Ilmu Negara (Jakarta: Bumi Aksara, 2009)
[9] Moh.Kusnardi, op.cit., h.335
[10] Miriam Budiardjo, op.cit., h.467
[11]Miriam Budiardjo, op.cit., h.467
[12] Moh.Kusnardi, op.cit., h.339
[13] Miriam Budiardjo, op.cit., h.467

[14]   Di akses dari ORMITA Online Sejarah dan Pelaksanaan Pemilu di Indonesia pada tanggal 5 Desember 2013


0 komentar:

Posting Komentar