Seiring dengan terbentuknya Negara modern diberbagai belahan dunia membuat lahirnya beraneka ragam sistem bernegara yang berkembang. Dengan berdasar paham nasionalis dan pengaruh budaya bangsa, Negara-negara harus menyatakan sikap yang tegas mengenai sistem yang digunakan demi berjalannya proses kenegaraan yang stabil. Mulai dari oligarki dan demokrasi muncul sebagai sistem bernegara yang kemudian digunakan negara-negara didunia.
Oligarki sebagai sistem yang
bertahan di Negara kerajaan terbukti mampu memberikan stabilitas keamanan bagi
Negara, meskipun sistem ini tidak memungkinkan adanya ruang bagi rakyat biasa
menjadi pemimpin tertinggi di negaranya. Lain halnya dengan demokrasi, sebagai
sebuah sistem, demokrasi memberikan janji pengaturan sosial yang
mempresentasikan ekualitas. Karena itu, demokrasi menjadi sebuah sistem yang
sangat ideal untuk mengatur kekuasaan dan partisipasi publik. Pada alam
demokrasi, pendapat pejabat, konglomerat, dan rakyat memiliki ekualitas nilai
yang setara. Inilah yang menyebabkan demokrasi mencuat sebagai pilihan basis
ideology bagi sistem bernegara.
Bagi Negara yang menganut sistem
demokrasi, manifestasi partisipasi publik diwadahi dalam berbagai institusi.
Institusi ini kemudian merefleksikan sektor-sektor pengaturan publik seperti sektor politik, sektor
ekonomi, sektor hukum, sektor budaya dan lain-lain. Sehingga sistem demokrasi
yang digunakan mesti termanifestasi oleh partisipasi publik untuk menjalankan
institusi-institusi tersebut agar proses pemerintahan dapat terlaksana secara
demokratis. Dimana pemerintahan demokratis hanya dapat diperoleh melalui suatu
mekanisme pemilihan umum yang melibatkan partisipasi publik secara langsung.[1]
Sesuai
teori demokrasi klasik pemilu adalah sebuah "Transmission of Belt"
sehingga kekuasaan yg berasal dari rakyat bisa bergeser menjadi kekuasaan
negara yg kemudian berubah bentuk menjadi wewenang pemerintah untuk
melaksanakan pemerintahan dan memimpin rakyat. Pemilihan Umum merupakan salah satu alat dan sarana pelaksanaan
kedaulatan yang mendasar pada demokrasi perwakilan di negara. Pemilihan umum
juga dapat dirumuskan sebagai mekanisme penyeleksian dan pendelegasian atau
penyerahan kedaulatan kepada seseorang calon atau partai yang dipercayai
melalui perolehan suara dari masyarakat . Dalam suatu lembaga perwakilan
rakyat, seperti DPR atau DPRD, sistem pemilihan ini bisa berupa seperangkat
metode untuk mentransfer suara pemilih kedalam suatu kursi dilembaga legislatif
atau parlemen. Tetapi , ketika pemilihan itu terjadi pada seorang calon anggota
legislatif, sistem pemilihan itu bisa berwujud seperangkat metode untuk
menentukan seorang pemenang berdasarkan jumlah suara yang diperolehnya.
Singkatnya , sistem pemilihan ini berkaitan dengan cara pemberian suara,
penghitungan suara, dan pembagian kursi.
- PEMILIHAN UMUM
Menurut
teori demokrasi klasik pemilu merupakan suatu Transmission of Belt sehingga kekuasaan yang berasal dari rakyat dapat
beralih menjadi kekuasaan negara yang kemudian menjelma dalam bentuk wewenang
pemerintah untuk memerintah dan mengatur rakyat.
Moh.
Kusnardi & Harmaily Ibrahim - Pemilihan umum
merupakan sebuah cara untuk memilih wakil-wakil rakyat. oleh karenanya bagi
sebuah negara yang mennganggap dirinya sebagai negara demokratis, pemilihan
umum itu wajib dilaksanakan dalam periode tertentu. [2]
Andrew Reynolds
menyatakan bahwa Pemilihan Umum adalah metode yang di dalamnya suara-suara yang
diperoleh dalam pemilihan diterjemahkan menjadi kursi-kursi yang dimenangkan
dalam parlemen oleh partai-partai dan para kandidat. Pemilihan umum merupakan
sarana penting untuk memilih wakil-wakil rakyat yang benar-benar akan bekerja
mewakili mereka dalam proses pembuatan kebijakan negara.[3]
Untuk
Republik Indonesia paling tidak ada tiga macam tujuan pemilihan umum. Ketiga
macam tujuan pemilihan umum itu adalah:
- memungkinkan
terjadinya peralihan pemerintahan secara aman dan tertib
- untuk
melaksanakan kedaulatan rakyat
- dalam
rangka melaksanakan hak-hak asasi warga negara.[4]
- SISTEM PEMILIHAN
UMUM
Sistem Pemilihan Umum merupakan metode yang mengatur serta
memungkinkan warga negara memilih/mencoblos para wakil rakyat diantara mereka
sendiri. Metode berhubungan erat dengan aturan dan prosedur merubah atau
mentransformasi suara ke kursi di parlemen. Mereka sendiri maksudnya adalah
yang memilih ataupun yang hendak dipilih juga merupakan bagian dari sebuah
entitas yang sama.
Dieter Nohlen
mendefinisikan sistem pemilihan umum dalam 2 pengertian, dalam arti luas dan
dalam arti sempit. Dalam arti luas, sistem pemilihan umum adalah “…. segala
proses yang berhubungan dengan hak pilih, administrasi pemilihan dan perilaku
pemilih." Lebih lanjut Nohlen menyebutkan pengertian sempit sistem
pemilihan umum adalah “… cara dengan mana pemilih dapat mengekspresikan pilihan
politiknya melalui pemberian suara, di mana suara tersebut ditransformasikan
menjadi kursi di parlemen atau pejabat publik."[5]
Dalam
ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum dengan berbagai
variasinya, akan tetapi umumnya berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu:
a. Single-member Constituency
(satu daerah pemilihan memiliki satu wakil; biasanya disebut sistem distrik).
b. Multi-member Constituency (satu
daerah pemilihan memilih beberapa wakil; biasanya dinamakan sistem perwakilan
berimbang atau sistem proporsional).[6]
Di
samping itu ada beberapa varian seperti Black
Vote, Alternative Vote, Sistem Dua Putaran, Sistem Paralel, Limited Vote,
Single Non-Transfable Vote, Mixed Member Proportional, dan Single Transfable
Vote. Tiga pertama lebih dekat ke sistem distrik, sedangkan yang lain lebih
dekat ke sistem proporsional atau semi proporsional.[7]
Selanjutnya
akan dijelaskan lebih lanjut mengenai sistem pemilu yang populer digunakan
diberbagai Negara, yakni sistem mekanis. Dalam sistem pemilihan mekanis rakyat
dianggap sebagai individu-individu yang berdiri sendiri, rakyat inilah sebagai
pengendali hak pilih dimana setiap orang mempunyai satu suara. Sistem ini
biasanya dilaksanakan dalam dua sistem, yaitu sistem distrik dan sistem
proporsional.[8]
·
Sistem
Distrik
Dinamakan
sistem distrik karena wilayah Negara dibagi dalam distrik-distrik pemilihan
(daerah-daerah pemilihan) yang jumlahnya sama dengan jumlah anggota Badan
Perwakilan Rakyat yang akan dikehendaki. Umpamanya jumlah anggota Dewan
Perwakilan Rakyat ditentukan 500 orang, maka wilayah Negara dibagi dalam 500
distrik pemilihan. Jadi distrik pemilihan diwakili oleh satu orang wakil di
Dewan Perwakilan Rakyat. Karena itu dinamakan sistem distrik, atau single member constituencies.[9]
Sistem
ini juga dikenal sebagai sistem mayoritas, karena untuk menentukan siapa-siapa
yang dipilih sebagai wakil rakyat dari suatu distrik ditentukan oleh siapa yang
memperoleh suara terbanyak (suara mayoritas) dan tidak perlu mayoritas mutlak
(kemenangan suara 100 persen). Misalnya di distrik A, calon JKW memperoleh
suara 10.000, AHK memperoleh suara 8.000, MGA memperoleh suara 5.000, maka yang
terpilih sebagai wakil dari distrik A di Badan Perwakilan Rakyat adalah JKW.
Jadi tiap distrik diwakili oleh satu orang yang memperoleh suara mayoritas.
a.) Keuntungan
sistem distrik
-
Sistem ini lebih mendorong kea rah
integrasi partai-partai politik karena kursi yang diperebutkan dalam setiap
distrik pemilihan hanya satu. Hal ini akan mendorong partai-partai untuk menyisihkan perbedaan-perbedaan yang ada dan
mengadakan kerja sama sekurang-kurangnya menjelang pemilihan umum, antara lain
melalui stembuss accord.
-
Fragmentasi partai dan kecenderungan
membentuk partai baru dapat dibendung: malahan sistem ini bias mendorong kearah
penyederhanaan partai secara alami dan tanpa paksaan.
-
Karena kecilnya distrik, maka wakil
rakyat yang terplih dapat dikenal oleh komunitasnya, sehingga hubungan dengan
konstituen lebih erat. Dengan demikian si wakil akan lebih cenderung untuk
memperjuangkan kepentingan distriknya.
-
Sistem ini lebih sederhana dan murah
untuk diselenggarakan.[10]
b.) Kelemahan
sistem distrik
-
Sistem ini kurang memerhatikan
kepentingan partai-partai kecil dan golongan minoritas, apalagi jika
golongan-golongan ini terpencar dalam berbagai distrik.
-
Sistem ini kurang representative dalam
arti bahwa partai yang calonnya kalah dalam suatu distrik kehilangan suara yang
telah mendukungnya. Hal ini berarti bahwa ada sejumlah suara yang tidak
diperhitungkan sama sekali, atau terbuang sia-sia. Dan jika banyak partai
mengadu kekuatan, maka jumlah suara yang hilang dapat mencapai jumlah yang
besar. Hal ini dianggap tidak adil terhadap partai dan golongan yang dirugikan.
-
Sistem distrik dianggap kurang efektif
dalam masyarakat yang plural karena terbagi dalam kelompok etnis, religious,
dan tribal, sehingga menimbulkan anggapan bahwa suatu kebudayaan nasional yang
terpadu secara ideologis dan etnis mungkin merupakan prasyarat bagi suksesnya sistem
ini.
-
Ada kemungkinan si wakil cenderung untuk
lebih memerhatikan kepentingan distrik serta warga distriknya, daripada
kepentingan nasional.[11]
·
Sistem Proporsional
Sistem
perwakilan proporsional ialah sistem dimana persentase kursi di Badan
Perwakilan Rakyat yang dibagikan kepada tiap-tiap partai politik disesuaikan
dengan presentase jumlah suara yang diperoleh tiap-tiap partai politik itu.
Umpamanya jumlah pemilih yang sah pada suatu pemilihan umum adalah 10.000.000
orang, dan jumlah kursi di Badan Perwakilan Rakyat ditentukan 100 kursi,
berarti untuk satu Badan Perwakilan Rakyat dibutuhkan suara 100.000. Pembagian
kursi di Badan Perwakilan Rakyat tersebut tergantung kepada berapa jumlah suara
yang didapat setiap partai politik yang ikut pemilihan umum itu.[12]
Agar
lebih jelas contoh penghitungannya seperti ini. Jumlah suara suara yang
dibutuhkan untuk dapat terpilih sebagai wakil rakyat di Badan Perwakilan Rakyat
adalah 10.000 suara. Calon-calon dari partai politik X mendapat suara sebagai
berikut ARC dari daerah 1 mendapat 19.000 suara, BDI dari daerah 2 mendapat
9.000 suara, CKE untuk daerah 3 mendapat 7.000 suara dan DRM dari daerah 4
mendapat 5.000 suara. Apabila didasarkan kepada imbangan suara 10.000, maka
dari partai politik X yang terpilih hanyalah calon ARC dari daerah 1, sedangkan
calon-calon lain tidak memenuhi imbangan suara. Tetapi karena dipraktekkan Hare
sistem, maka klebihan suara dari ARC dapat dipindahkan kepada calon BDI, yang
akan memperoleh 18.000 suara, kelebihan 8.000 suara dari BDI dapat dipindahkan
kepada CKE, sehingga CKE memperoleh 15.000 suara yang berarti masih ada sisa 5.000
suara dan ini dapat dipindahkan ke calon DRM sehingga suaranya cukup 10.000
sesuai dengan imbangan suara yang dibutuhkan. Sehingga tidak ada suara yang
terbuang percuma.
a.) Keuntungan
sistem proporsional
-
Sistem proporsional dianggap
representative, karena jumlah kursi partai dalam parlemen sesuai dengan jumlah
suara masyarakat yang diperoleh dalam pemilihan umum.
-
Sistem proporsional dianggap
lebihdemokratis dalam arti lebih egaliteran
karena praktis tanpa ada distorsi,
yaitu kesenjangan antara suara nasional dan jumlah kursi dalam parlemen, tanpa
suara yang hilang atau wasted. Akibatnya
semua golongan dalam masyarakat, termasuk yang kecil pun memperoleh peluang
untuk menampilkan wakilnya dalam parelemen. Rasa keadilan masyarkat sedikit
banyak terpenuhi.[13]
b.) Kelemahan
sistem proporsional
-
Lemahnya hubungan antara legislatif
terpilih dengan pemilihnya oleh sebab banyaknay calon wakil rakyat yang akan
dipilih.
-
Sistem Proporsional juga membuat kantor
pusat partai (DPP) memiliki kekuasaan besar untuk menentuk siapa anggota partai
yang masuk ke dalam daftar. Akhirnya, Proporsional Daftar sukar dilaksanakan di
negara yang tradisi partainya kurang kuat.
-
Sistem proporsional tidak begitu
mendukung integrasi partai politik. Jumlah partai yang terus bertambah
menghalangi integrasi partai
-
Besarnya kemungkinan wakil
lebih terikat dan loyal dengan partai daripada rakyat atau daerah yang di
wakilinya
·
SEJARAH
PEMILU DI INDONESIA
Sepanjang
sejarah berdirinya NKRI, telah diselenggarakan 10 kali Pemilu anggota lembaga
legislatif yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999,
2004, dan 2009. Pemilu tersebut diselenggarakan sesuai dengan UUD 1945 yaitu:
- Pasal
18 (3): Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui
pemilihanumum.
- Pasal
19 (1): AnggotaDewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum.
- Pasal
22C (1): Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi
melalui pemilihan umum; (2) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap
provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah
itu tidak lebih dari seperti jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Berikut
ini adalah pemilu-pemilu yang pernah berlangsung di Indonesia:
- Pemilu
1955, Pemilu
di Indonesia pertama kali berlangsung pada tahun 1955 dengan maksud untuk
memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Pemilu di Indonesia ini
dilaksanakan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo.
Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap pertama adalah
Pemilu untuk memilih anggota DPR.
Tahap ini diselenggarakan pada
tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu.
Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini
diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955. Tiga besar partai yang menjadi
pemenang dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia, Masyumi dan
Nahdlatul Ulama
- Pemilu
1971, Pemilu
berikutnya diselenggarakan pada tanggal 3 Juli 1971. Pemilu diikuti oleh 9
Partai politik dan 1 organisasi masyarakat. Tiga besar partai pemenang
dalam Pemilu ini adalah Golongan Karya, Nahdlatul Ulama dan Parmusi.
- Pemilu
1977-1997, Selanjutnya
setiap lima tahun sekali Pemilu
di Indonesia memilih anggota DPR. Pemilu-Pemilu ini dilangsungkan
pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu di Indonesia pada
tahun ini dilangsungkan pada rezim pemerintahan Presiden Soeharto.
Pemilu di Indonesia masa ini
seringkali disebut dengan “Pemilu Orde Baru”. Pemilu tersebut hanya diikuti dua
partai politik dan satu Golongan Karya. Kesemuanya dimenangkan oleh Golongan
Karya.
- Pemilu
1999, Pemilu
di Indonesia ini dilangsungkan pada tahun pada tanggal 7 Juni 1999 di
bawah pemerintahan Presiden BJ Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik.
Pemilu ini juga menandai berakihrnya rezim orde baru.Tiga besar Pemilu
1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai
Persatuan Pembangunan
- Pemilu
2004, Pemilu
2004 berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Selain memilih anggota DPR,
DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, rakyat juga dapat memilih anggota
Dewan Perwakilan Daerah (DPD). DPD adalah lembaga perwakilan baru yang
ditujukan untuk mewakili kepentingan daerah. Pemilu tahun ini memilih
presiden secara langsung.
Pemilu pada 2004 juga merupakan
pemilu pertama di mana para peserta dapat memilih langsung presiden dan wakil
presiden pilihan masyarakat (pilpres). Pilpres ini berlangsung dalam dua
putaran, karena tidak ada pasangan calon yang berhasil mendapatkan suara lebih
dari 50%. Pilpres ini akhirnya dimenangkan oleh pasangan Susilo Bambang
Yudhoyono-Jusuf Kalla.
- Pemilu
2009, Pemilu
tahun 2009 berlangsung pada 8 Juli 2009. Capres Susilo Bambang Yudhoyono
yang diusung oleh Partai Demokrat bersama cawapresnya Boediono, berhasil
menjadi pemenang dalam satu putaran langsung. Mereka memperoleh suara
60,80%. Mereka mengalahkan pasangan capres-cawapres Megawati
Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto.[14]
·
SISTEM PEMILU IDEAL UNTUK INDONESIA
Penentuan
sistem pemilu yang ideal untuk
diterapakan di Indonesia tentunya bukan hal yang mudah, melainkan berdasarkan yaitu ketentuan
dalam konstitusi dan kondisi bangsa Indonesia sendiri. Berdasarkan itu Penulis beranggapan
bahwa dalam memilih sistem yang ideal untuk digunakan dalam suatu Negara tentu
akan tidak mudah karena sistem yang ada memiliki berbagai kelebihan dan
keuntungan, tetapi dalam hal pemilu di Indonesia yang harus di garis bawahi
yaitu terkait apa sebenarnya kebutuhan dari Indonesia, sehingga sistem
pemilihan yang cocok digunakan di Indonesia ialah sistem pemilihan proporsional
dengan pertimbangan:
a. Implementasi kedaulatan rakyat
Implementasi kedaulatan rakyat merupakan salah satu tujuan
utama diselenggarakannya sebuah pemilihan umum. Dan itu bisa terlaksana apabila
setiap pilihan yang dilakukan tetap masuk dalam hitungan jumlah suara dalam
pemilu yang tercover dalam sistem proporsional, tidak terbuang seperti halnya
yang terjadi dalam sistem distrik
b.
Cakupan
keanekaragaman
Baik dari sisi
aliran politik, etnis, maupun agama. Selain itu terdapat keragaman
karakteristik wilayah, baik ditinjau dari sisi populasi maupun sumber daya
alam. Hal ini tentu juga harus menjadi perhatian untuk menentukan sistem pemilu
agar semua keragaman itu terwakili dan tidak menimbulkan kecemburuan yang
mengancam integrasi nasional. Sistem proporsional bisa mengcover hal ini karena
memberikan ruang yang lebih terhadap peluang suara minoritas untuk mendudukkan
wakilnya di parlemen.
Tentunya ada
beberapa hal yang juga perlu diperketat untuk membuat pemilu di Indonesia agar
lebih sehat, yaitu:
-
Pendidikan politik kepada masyarakat
luas oleh penyelenggara pemilu dan para calon anggota parlemen. Yakni dengan
pendekatan atau sosialisasi yang sehat antara sang calon dan pemilih sehingga
terjadi kedekatan emosional. Dan menaati segala peraturan kampanye yang
ditetapkan oleh penyelenggara pemilu.
-
Pengaturan partai peserta pemilu, perlu
dibuat aturan yang ketat tentang prasyarat partai calon peserta pemilu. Selama
ini partai kecil yang turut berpartisipasi terlalu banyak padahal ideology
maupun visi yang diusungnya hampir sama dengan partai besar lain.
-
Persyaratan tentang calon, perlu di buat
persyaratan yang ketat dari partai politik tentang para calon yang akan
diusungnya. Baik itu tentang tingkat pendidikan yang baik, track record yang bersih, serta dibuatnya komitmen para calon
tentang integritas dan visi yang diembannya. Sehingga calon yang diusung
memiliki kualitas yang bias dipertanggung jawabkan parpol.
-
Sanksi yang tegas bagi pelanggar aturan
pemilu baik selama kampanye kepada para calon maupun partai politik.
DAFTAR
PUSTAKA
Budiardjo Miriam, Prof,
Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2008
Busroh Abu Daud, Prof., S.H., Ilmu Negara. Jakarta: Bumi Aksara, 2009
Iswandi
Syahputra, Rezim Media: Pergulatan
Demokrasi, Jurnalisme, dan Infotainment dalam Industri Televisi, Jakarta:
Gramedia Pustaka,2013
Budiardjo Miriam, Prof,
Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2008
Busroh Abu Daud, Prof., S.H., Ilmu Negara. Jakarta: Bumi Aksara, 2009
Kusnardi
Moh. S.,H. Ibrahim Harmaily S.H., Pengantar
Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta Selatan: Budi Chaniago, 1988
[1]
Iswandi Syahputra, Rezim Media:
Pergulatan Demokrasi, Jurnalisme, dan Infotainment dalam Industri Televisi (Jakarta:
Gramedia Pustaka,2013)
[2]
Moh.Kusnardi, Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia (Jakarta: Sinar Bakti, 1988)
[3]
Andrew Reynolds, Merancang Sistem
Pemilihan Umum dalam Juan J. Linz, et.al., Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat: Belajar
dari Kekeliruan Negara-negara Lain, (Bandung: Mizan, 2001)
[4]
Moh.Kusnardi, op.cit., h.330
[5]
Dieter Nohlen, Electoral Sistems (California: Sage Publications, 2008)
[6]
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu
Politik (Jakarta:Gramedia Pustaka, 2008)
[7]
Miriam Budiardjo, op.cit., h.462
[8]
Abu Daud Busroh, Ilmu Negara
(Jakarta: Bumi Aksara, 2009)
[9]
Moh.Kusnardi, op.cit., h.335
[10]
Miriam Budiardjo, op.cit., h.467
[11]Miriam
Budiardjo, op.cit., h.467
[12]
Moh.Kusnardi, op.cit., h.339
[13]
Miriam Budiardjo, op.cit., h.467
0 komentar:
Posting Komentar