Senin, 06 Januari 2014

Wiji Tukul



Tulisan singkat ini saya rangkum dari artikel yang dimuat di Majalah Tempo dan blog kumpulan fiksi. Tentang Wiji Tukul, demonstran yang hilang tapi tak terlupakan. Semoga menginspirasi.
Pada suatu siang Agustus 1996, dia pamit kepada istrinya untuk pergi bersembunyi. Sejak itu, penyair pelo ini mengembara dari satu kota ke kota lain, menghindar dari kejaran jenderal-jenderal di Jakarta yang marah-marah menuding puisinya menghasut para aktivis untuk melawan pemerintah Orde Baru. Tapi, bahkan setelah rezim Soeharto tumbang, Wiji Thukul tak juga pulang.
Wiji Tukul yang bernama asli Wiji Widodo, seorang penyair kerakyatan dari Solo. Ia adalah salah satu dari 13 korban penculikan yang terjadi pada periode 1996-1998, yang hingga kini tidak diketahui kepastian keberadaannya.
Puisi-puisi Wiji Tukhul sangat melekat terutama di kalangan aktivis gerakan pro-demokrasi yang senantiasa digemakan dalam berbagai aksi untuk membangun semangat. Puisi-puisi Wiji Thukul yang semula terhimpun dalam lima kumpulan buku puisi, kini telah disatukan ke dalam buku: Aku Ingin Jadi Peluru.Buku ini diterbitkan oleh Penerbit TERA, Magelang. Buku ini berisi 136 puisi yang dibagi atas lima buku atau lima kumpulan puisi. Buku 1: Lingkungan Kita Si Mulut Besar berisi 46 puisi.. Buku 2: Ketika Rakyat Pergi berisi 17 puisi. Buku 3: Darman dan Lain-lain berisi 16 puisi. Buku 4: Puisi Pelo berisi 29 puisi. Dan Buku 5: Baju Loak Sobek Pundaknya berisi 28 puisi. Dalam catatan penerbit, Buku 5 merupakan kumpulan sajak-sajak yang ditulis Wiji Thukul ketika ia berada di masa pelarian
Banyak yang menduga dia menjadi korban penculikan dan pembunuhan menjelang Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat 1998. Istri dan beberapa kerabat dekatnya percaya dia masih hidup dan suatu ketika akan kembali.
Namun, Wiji Thukul tak pernah kembali. Lelaki cadel itu--ia tak pernah bisa melafalkan huruf “r” dengan sempurna--dianggap membahayakan Orde Baru. Ia “cacat” wicara, tapi ia dianggap berbahaya.
Rambutnya lusuh. Pakaiannya kumal. Celananya seperti tak mengenal sabun dan setrika. Ia bukan burung merak yang mempesona. Tapi, bila penyair ini membaca puisi di tengah buruh dan mahasiswa, aparat memberinya cap sebagai agitator, penghasut.
Selebaran, poster, stensilan, dan buletin propaganda yang ia bikin tersebar luas di kalangan buruh dan petani. Kegiatannya mendidik anak-anak kampung dianggap menggerakkan kebencian terhadap Orde Baru. Maka ia dibungkam. Dilenyapkan.

PERINGATAN
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!.
(Wiji Thukul, 1986)

SAJAK SUARA
sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku
suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diamaku
siapkan untukmu: pemberontakan!
sesungguhnya suara itu bukan perampok
yang ingin merayah hartamu
ia ingin bicara
mengapa kau kokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?
sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ialah yang mengajari aku bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti kutukan

P E N Y A I R

jika tak ada mesin ketik
aku akan menulis dengan tangan
jika tak ada tinta hitam
aku akan menulis dengan arang
jika tak ada kertas
aku akan menulis pada dinding
jika aku menulis dilarang
aku akan menulis dengan
tetes darah!

sarang jagat teater
19 januari 1988

AKU MASIH UTUH DAN KATA-KATA BELUM BINASA

ku bukan artis pembuat berita
Tapi aku memang selalu kabar buruk buat penguasa

Puisiku bukan puisi
Tapi kata-kata gelap
Yang berkeringat dan berdesakan mencari jalan
Ia  tak mati-mati, meski bola mataku diganti
Ia tak mati-mati, meski bercerai dengan rumah
Ditusuk-tusuk sepi, ia tak mati-mati
telah kubayar yang dia minta
umur-tenaga-luka

Kata-kata itu selalu menagih
Padaku ia selalu berkata, kau masih hidup

Aku memang masih utuh
dan kata-kata belum binasa

(Wiji Thukul.18 juni 1997)




Minggu, 05 Januari 2014

KONTROVERSI MENUJU PEMBENTUKAN LEMA UNHAS


Diskursus menuju pembentukan Lembaga Eksekutif Mahasiswa Universitas Hasanuddin kembali marak dibicarakan. Sebuah baliho besar yang berdiri di pintu 1 Unhas tentang berita kongres lembaga kemahasiswaan tertinggi di Unhas sontak menarik perhatian penggiat lembaga di Unhas. Meskipun selama ini wacana pembentukan kembalinya LEMAmasih menuai pro dan kontra, kongres Lema telah menjadi harga mati bagi pengusungnya.
LEMA sebenarnya bukanlah model lembaga baru di dunia kemahasiswaan unhas. Berangkat dari sejarah, sebenarnya lembaga eksekutif mahasiswa di unhas telah ada dengan beragam model di zamannya. Model pertama ialah Dewan Mahasiswa (DEMA UNHAS) yang ada pada kurun waktu 1975-1978. Yang kemudian dibekukan pada tahun 1978 akibat pemberlakuan NKK/BKK di dunia kampus melalui surat edaran dari Kaskopkamtib Laksamana Sudomo. Kemudian dikenallah konsep Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) sebagai instruksi Dirjen Perguruan Tinggi sebagai lembaga perwakilan mahasiswa baru mengantikan DEMA. Pada tahun 1991 diakibatkan kerinduan terhadap lembaga kemahasiswaan yang memiliki otonomi sendiri, melalui jalan yang panjang terbentuklah Senat Mahasiswa Universitas Hasanuddin (SMUH). Namun Setelah mengalami pasang surut dan pasca pergolakan reformasi 1998 gaung SMUH juga tak terdengar lagi. Kemudian pada tahun 2000 diadakan kembali bursa pemilihan lembaga eksekutif mahasiswa yang kemudian berganti dari SMUH menjadi LEMA Unhas. Dalam perkembangannya LEMA Unhas tak luput menuai pro kontra pengurus lembaga se Unhas di zamannya. Rendahnya partisipasi politik warga Unhas dalam pemilu raya yang diadakan Badan Pekerja, tidak transparannya kerja-kerja LEMA dan tidak bersatunya BEM dan Senat mahasiswa fakultas menjadikan kinerja LEMA kontraproduktif dengan cita-cita awalnya dibentuknya. Dan sejak vakumnya LEMA pada 2008 diakibatkan semakin banyaknya organ yang memisahkan diri, semangat ber LEMA pun semakin luntur.
Di penghujung tahun 2013 wacana terbentuknya kembali LEMA Unhas semakin menggeliat. Konsolidasi yang dilakukan beberapa elit lembaga fakultas terkait LEMA telah mendapat restu dari birokrasi kampus. Beredarnya pamflet-pamflet hasil kongres yang telah dilaksanakan di Hutan Pendidikan Bengo-bengo seakan melegitimasi proses pembentukan LEMA yang semakin dekat. Seklumit dialektika yang berkembang dalam jalan menuju LEMA menarik untuk disimak.
Sosalisasi abu-abu
Sejatinya dunia kampus merupakan sebuah miniatur kecil Negara. Didalamanya terdapat lembaga eksekutif yang menjalankan roda pemerintahan dan ada juga yang berperan sebagai lembaga legislatif yang berfungsi mengawasi kinerja dari lembaga eksekutif. Tupoksi lembaga-lembaga diatas kemudian diaktualisasikan dalam lembaga kemahasiswaan dengan model yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kultur dalam dunia kampus. Mulai dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Senat Mahasiswa, Mahkamah Keluarga Mahasiswa (MKM), Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) mewarnai dinamika berlembaga dunia kemahasiswaan di Unhas. Proses pemilihan ketua lembaga pun dilakukan dengan cara yang demokratis yakni melalui mekanisme pemilihan secara langsung. LEMA sendiri sebagai lembaga kemahasiswaan tertinggi tentunya merupakan organisasi yang dianggap merepresentasikan suara mahasiswa Unhas. LEMA nantinya akan menjalankan roda pemerintahan sebagai wadah pergerakan sentralistik yang di harapkan bisa mengawal isu-isu nasional, lokal, maupun ke-unhasan.  Tetapi ketika proses pengemblengan pembentukan payung organ terbesar di Unhas ini kemudian masih belum maksimal apakah pelaksanaan kongres harus segera dilaksanakan?
Dalam sebuah diskusi tentang “Pro kontra LEMA Unhas” yang diadakan oleh Litbang Unit Kegiatan Pers Mahasiswa Unhas, salah seorang pembicara yang menjadi caretaker kongres justru kurang tahu bagaimana model sosialisasi yang dilakukan para konsolidator kepada warga Unhas. Akunya pola metedologi komunikasi yang digunakan diserahkan kepada konsolidator perwakilan BEM fakultas untuk disampaikan ke warganya. Di tambahkan oleh Nurdiansyah, Presiden BEM Fakultas Hukum bahwa konsolidasi sudah dilaksanakan sejak Desember 2012 lalu dan model sosialisasi dilakukan dengan menggelar diskusi pelataran dan rapat internal organ fakultas. Pertanyaan pun ramai bermunculan dari peserta diskusi tentang kinerja konsolidator yang di utusdianggap belum dirasakan warga, bahkan oleh fungsionaris lembaga yang notabenenya BEM fakultasnya rutin mengirimkan utusannya terjadi lempar balik pertanyaan satu sama lain.
Gambaran diskusi di atas sedikit banyak menceritakan bagaimana proses sosialisasi LEMA yang dilakukan sejatinya belum maksimal dan masih menuai banyak tanda tanya di kalangan fungsionaris lembaga. Ibaratnya dalam sebuah proses menuju pemilihan umum yang riil, idealnya harus didahului dengan pendidikan politik yang memadai kepada konstituennya. Sayangnya apa yang dilakukan teman-teman konsolidator belum memenuhi unsur klausula diatas. Dinamika politik kampus yang dijalani mahasiswa seharusnya menjadi media pembelajaran yang dilaksanakan dalamproses yang matang dan tidak mengulangi kesalahan sejarah yang sama. Tak ayal tuduhan bahwa wacana pembentukan LEMA sarat akan kepentingan dan hanya melibatkan ego elit-elit lembaga saja. Masih adanya pro kontra dalam internal organ tiap fakultas tidak jarang terjadi. Meskipun begitu faktanya para elit lembaga tetap berjalan kedepan.
            Belum bersatunya BEM se Unhas
Mungkin sudah bukan cerita baru bagaimana begitu sulitnya mempersatukan 14 BEM fakultas se Unhas di dalam payung LEMA. Sejak disepakatinya model LEMA sebagai lembaga eksekutif tertinggi, organ se Unhas tak pernah sekalipun lengkap duduk bersama. Berbagai alasan pun mencuat, mulai dari ego fakultas yang sudah merasa mapan, sejarah  kelam dalam perjalanan LEMA dan penolakan terhadap eksistensi LEMA yang dijadikan pertarungan politik organ ekstra. Tak banyak berubah, perjalanan yang dilalui sampai ke tahapan kongres pun tak bisa mendudukkan semua perwakilan BEM se Unhas. Meskipun begitu dengan alasan demokrasi representatif, Kongres LEMA Unhas tahun 2013 telah terlaksana. Dari 14 BEM dan Senat Mahasiswa ada 4 organ yang menolak. Mereka yang menolak antara lain BEM Sastra, BEM MIPA, Senat Mahasiswa Ekonomi dan Senat Mahasiswa Kelautan. Status organ yang menolak terlibat dalam kongres LEMA pun juga tidak jelas dalam LEMA nantinya.Pembentukan kembali LEMA saat ini jelas terseok-seok. Tendensi menjadi latar belakang yang jelas dirasakan dalam prosesnya. Belum bersatunya BEM se Unhas niscaya akan memberikan dampak yang signifikan jika LEMA Unhas jadi dibentuk.
Universitas sebagai rumah kaum intelektual adalah benteng penjagaan rasionalitas dimana nilai-nilai keadilan dimunculkan dan menjaga peradaban sejarah manusia. Mahasiswa sebagai middle class dalam tatanan masyakat memiliki peran vital dalam mengkritisi kebijakan penguasa dan corong aspirasi mereka yang tertindas. Sehingga legitimasi terhadap sebuah organisasi bukanlah keharusan, melainkan bisa mengikatkan diri dalam paguyuban untuk mengawal isu-isu nasional maupun kampusmelalui gerakan kolektif adalah hal yang utama. Platform gerakan mestinya bisa berdampak signifikan dengan adanya forum tanpa melalui model LEMA. Sehingga mahasiswa Unhas jangan mau terpecah oleh fenomena LEMA yang terus berlarut-larut. Jika kesatuan gerakan saat ini bisa diwujudkan dalam bentuk ad hoc Forum Mahasiswa Unhas, FSLK atau apapun namanya dengan esensi yang sama kenapa tidak?.
Pertanyaan paling dasar yang mesti diajukan sebenarnya “Apakah LEMA Unhas sebenarnya menjadi kebutuhan kita saat ini?”. Dan jika belum maka kenapa kita harus terburu-buru!

Penulis adalah mahasiswa fakultas Hukum Unhas dan anggaota Dewan Perwakilan Mahasiswa KEMA FHUH  2012-2013