Tulisan singkat ini saya rangkum dari artikel
yang dimuat di Majalah Tempo dan blog kumpulan fiksi. Tentang Wiji Tukul, demonstran
yang hilang tapi tak terlupakan. Semoga menginspirasi.
Pada suatu siang Agustus 1996, dia
pamit kepada istrinya untuk pergi bersembunyi. Sejak itu, penyair pelo ini
mengembara dari satu kota ke kota lain, menghindar dari kejaran
jenderal-jenderal di Jakarta yang marah-marah menuding puisinya menghasut para
aktivis untuk melawan pemerintah Orde Baru. Tapi, bahkan setelah rezim Soeharto
tumbang, Wiji Thukul tak juga pulang.
Wiji Tukul yang bernama asli Wiji
Widodo, seorang penyair kerakyatan dari Solo. Ia adalah salah satu dari 13
korban penculikan yang terjadi pada periode 1996-1998, yang hingga kini tidak
diketahui kepastian keberadaannya.
Puisi-puisi Wiji Tukhul sangat
melekat terutama di kalangan aktivis gerakan pro-demokrasi yang senantiasa
digemakan dalam berbagai aksi untuk membangun semangat. Puisi-puisi Wiji Thukul
yang semula terhimpun dalam lima kumpulan buku puisi, kini telah disatukan ke
dalam buku: Aku Ingin Jadi Peluru.Buku ini diterbitkan oleh Penerbit TERA,
Magelang. Buku ini berisi 136 puisi yang dibagi atas lima buku atau lima
kumpulan puisi. Buku 1: Lingkungan Kita Si Mulut Besar berisi 46 puisi..
Buku 2: Ketika Rakyat Pergi berisi 17 puisi. Buku 3: Darman dan Lain-lain
berisi 16 puisi. Buku 4: Puisi Pelo berisi 29 puisi. Dan Buku 5: Baju Loak
Sobek Pundaknya berisi 28 puisi. Dalam catatan penerbit, Buku 5 merupakan
kumpulan sajak-sajak yang ditulis Wiji Thukul ketika ia berada di masa pelarian
Banyak yang menduga dia menjadi
korban penculikan dan pembunuhan menjelang Sidang Umum Majelis Permusyawaratan
Rakyat 1998. Istri dan beberapa kerabat dekatnya percaya dia masih hidup dan
suatu ketika akan kembali.
Namun, Wiji Thukul tak pernah
kembali. Lelaki cadel itu--ia tak pernah bisa melafalkan huruf “r” dengan
sempurna--dianggap membahayakan Orde Baru. Ia “cacat” wicara, tapi ia dianggap
berbahaya.
Rambutnya lusuh. Pakaiannya kumal.
Celananya seperti tak mengenal sabun dan setrika. Ia bukan burung merak yang
mempesona. Tapi, bila penyair ini membaca puisi di tengah buruh dan mahasiswa,
aparat memberinya cap sebagai agitator, penghasut.
Selebaran, poster, stensilan, dan buletin propaganda yang ia bikin tersebar luas di kalangan buruh dan petani. Kegiatannya mendidik anak-anak kampung dianggap menggerakkan kebencian terhadap Orde Baru. Maka ia dibungkam. Dilenyapkan.
Selebaran, poster, stensilan, dan buletin propaganda yang ia bikin tersebar luas di kalangan buruh dan petani. Kegiatannya mendidik anak-anak kampung dianggap menggerakkan kebencian terhadap Orde Baru. Maka ia dibungkam. Dilenyapkan.
PERINGATAN
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!.
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!.
(Wiji Thukul, 1986)
SAJAK SUARA
sesungguhnya suara itu tak bisa
diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku
suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diamaku
siapkan untukmu: pemberontakan!
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku
suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diamaku
siapkan untukmu: pemberontakan!
sesungguhnya suara itu bukan perampok
yang ingin merayah hartamu
ia ingin bicara
mengapa kau kokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?
sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ialah yang mengajari aku bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti kutukan
yang ingin merayah hartamu
ia ingin bicara
mengapa kau kokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?
sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ialah yang mengajari aku bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti kutukan
P E N Y A I R
jika tak ada mesin ketik
aku akan menulis dengan tangan
jika tak ada tinta hitam
aku akan menulis dengan arang
jika tak ada kertas
aku akan menulis pada dinding
jika aku menulis dilarang
aku akan menulis dengan
tetes darah!
sarang jagat teater
19 januari 1988
AKU MASIH UTUH DAN
KATA-KATA BELUM BINASA
ku bukan artis pembuat berita
Tapi aku memang selalu kabar buruk buat penguasa
Puisiku bukan puisi
Tapi kata-kata gelap
Yang berkeringat dan berdesakan mencari jalan
Ia tak mati-mati, meski bola mataku diganti
Ia tak mati-mati, meski bercerai dengan rumah
Ditusuk-tusuk sepi, ia tak mati-mati
telah kubayar yang dia minta
umur-tenaga-luka
Kata-kata itu selalu menagih
Padaku ia selalu berkata, kau masih hidup
Aku memang masih utuh
dan kata-kata belum binasa
(Wiji Thukul.18 juni 1997)
ku bukan artis pembuat berita
Tapi aku memang selalu kabar buruk buat penguasa
Puisiku bukan puisi
Tapi kata-kata gelap
Yang berkeringat dan berdesakan mencari jalan
Ia tak mati-mati, meski bola mataku diganti
Ia tak mati-mati, meski bercerai dengan rumah
Ditusuk-tusuk sepi, ia tak mati-mati
telah kubayar yang dia minta
umur-tenaga-luka
Kata-kata itu selalu menagih
Padaku ia selalu berkata, kau masih hidup
Aku memang masih utuh
dan kata-kata belum binasa
(Wiji Thukul.18 juni 1997)
0 komentar:
Posting Komentar