Diskursus menuju pembentukan Lembaga
Eksekutif Mahasiswa Universitas Hasanuddin kembali marak dibicarakan. Sebuah
baliho besar yang berdiri di pintu 1 Unhas tentang berita kongres lembaga
kemahasiswaan tertinggi di Unhas sontak menarik perhatian penggiat lembaga di Unhas.
Meskipun selama ini wacana pembentukan kembalinya LEMAmasih menuai pro dan
kontra, kongres Lema telah menjadi harga mati bagi pengusungnya.
LEMA sebenarnya bukanlah model
lembaga baru di dunia kemahasiswaan unhas. Berangkat dari sejarah, sebenarnya
lembaga eksekutif mahasiswa di unhas telah ada dengan beragam model di zamannya.
Model pertama ialah Dewan Mahasiswa (DEMA UNHAS) yang ada pada kurun waktu
1975-1978. Yang kemudian dibekukan pada tahun 1978 akibat pemberlakuan NKK/BKK
di dunia kampus melalui surat edaran dari Kaskopkamtib Laksamana Sudomo.
Kemudian dikenallah konsep Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) sebagai instruksi
Dirjen Perguruan Tinggi sebagai lembaga perwakilan mahasiswa baru mengantikan
DEMA. Pada tahun 1991 diakibatkan kerinduan terhadap lembaga kemahasiswaan yang
memiliki otonomi sendiri, melalui jalan yang panjang terbentuklah Senat
Mahasiswa Universitas Hasanuddin (SMUH). Namun Setelah mengalami pasang surut
dan pasca pergolakan reformasi 1998 gaung SMUH juga tak terdengar lagi.
Kemudian pada tahun 2000 diadakan kembali bursa pemilihan lembaga eksekutif
mahasiswa yang kemudian berganti dari SMUH menjadi LEMA Unhas. Dalam
perkembangannya LEMA Unhas tak luput menuai pro kontra pengurus lembaga se
Unhas di zamannya. Rendahnya partisipasi politik warga Unhas dalam pemilu raya
yang diadakan Badan Pekerja, tidak transparannya kerja-kerja LEMA dan tidak
bersatunya BEM dan Senat mahasiswa fakultas menjadikan kinerja LEMA
kontraproduktif dengan cita-cita awalnya dibentuknya. Dan sejak vakumnya LEMA
pada 2008 diakibatkan semakin banyaknya organ yang memisahkan diri, semangat
ber LEMA pun semakin luntur.
Di penghujung tahun 2013 wacana
terbentuknya kembali LEMA Unhas semakin menggeliat. Konsolidasi yang dilakukan
beberapa elit lembaga fakultas terkait LEMA telah mendapat restu dari birokrasi
kampus. Beredarnya pamflet-pamflet hasil kongres yang telah dilaksanakan di
Hutan Pendidikan Bengo-bengo seakan melegitimasi proses pembentukan LEMA yang
semakin dekat. Seklumit dialektika yang berkembang dalam jalan menuju LEMA
menarik untuk disimak.
Sosalisasi abu-abu
Sejatinya dunia kampus merupakan
sebuah miniatur kecil Negara. Didalamanya terdapat lembaga eksekutif yang
menjalankan roda pemerintahan dan ada juga yang berperan sebagai lembaga
legislatif yang berfungsi mengawasi kinerja dari lembaga eksekutif. Tupoksi
lembaga-lembaga diatas kemudian diaktualisasikan dalam lembaga kemahasiswaan
dengan model yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kultur dalam dunia kampus.
Mulai dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Senat Mahasiswa, Mahkamah Keluarga
Mahasiswa (MKM), Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), dan Unit Kegiatan Mahasiswa
(UKM) mewarnai dinamika berlembaga dunia kemahasiswaan di Unhas. Proses
pemilihan ketua lembaga pun dilakukan dengan cara yang demokratis yakni melalui
mekanisme pemilihan secara langsung. LEMA sendiri sebagai lembaga kemahasiswaan
tertinggi tentunya merupakan organisasi yang dianggap merepresentasikan suara
mahasiswa Unhas. LEMA nantinya akan menjalankan roda pemerintahan sebagai wadah
pergerakan sentralistik yang di harapkan bisa mengawal isu-isu nasional, lokal,
maupun ke-unhasan. Tetapi ketika proses pengemblengan
pembentukan payung organ terbesar di Unhas ini kemudian masih belum maksimal
apakah pelaksanaan kongres harus segera dilaksanakan?
Dalam sebuah diskusi tentang “Pro
kontra LEMA Unhas” yang diadakan oleh Litbang Unit Kegiatan Pers Mahasiswa
Unhas, salah seorang pembicara yang menjadi caretaker
kongres justru kurang tahu bagaimana model sosialisasi yang dilakukan para
konsolidator kepada warga Unhas. Akunya pola metedologi komunikasi yang
digunakan diserahkan kepada konsolidator perwakilan BEM fakultas untuk
disampaikan ke warganya. Di tambahkan oleh Nurdiansyah, Presiden BEM Fakultas
Hukum bahwa konsolidasi sudah dilaksanakan sejak Desember 2012 lalu dan model
sosialisasi dilakukan dengan menggelar diskusi pelataran dan rapat internal
organ fakultas. Pertanyaan pun ramai bermunculan dari peserta diskusi tentang
kinerja konsolidator yang di utusdianggap belum dirasakan warga, bahkan oleh
fungsionaris lembaga yang notabenenya BEM fakultasnya rutin mengirimkan
utusannya terjadi lempar balik pertanyaan satu sama lain.
Gambaran diskusi di atas sedikit
banyak menceritakan bagaimana proses sosialisasi LEMA yang dilakukan sejatinya
belum maksimal dan masih menuai banyak tanda tanya di kalangan fungsionaris lembaga.
Ibaratnya dalam sebuah proses menuju pemilihan umum yang riil, idealnya harus
didahului dengan pendidikan politik yang memadai kepada konstituennya.
Sayangnya apa yang dilakukan teman-teman konsolidator belum memenuhi unsur
klausula diatas. Dinamika politik kampus yang dijalani mahasiswa seharusnya
menjadi media pembelajaran yang dilaksanakan dalamproses yang matang dan tidak
mengulangi kesalahan sejarah yang sama. Tak ayal tuduhan bahwa wacana
pembentukan LEMA sarat akan kepentingan dan hanya melibatkan ego elit-elit
lembaga saja. Masih adanya pro kontra dalam internal organ tiap fakultas tidak
jarang terjadi. Meskipun begitu faktanya para elit lembaga tetap berjalan
kedepan.
Belum bersatunya BEM se Unhas
Mungkin sudah bukan cerita baru
bagaimana begitu sulitnya mempersatukan 14 BEM fakultas se Unhas di dalam
payung LEMA. Sejak disepakatinya model LEMA sebagai lembaga eksekutif
tertinggi, organ se Unhas tak pernah sekalipun lengkap duduk bersama. Berbagai
alasan pun mencuat, mulai dari ego fakultas yang sudah merasa mapan, sejarah kelam dalam perjalanan LEMA dan penolakan
terhadap eksistensi LEMA yang dijadikan pertarungan politik organ ekstra. Tak
banyak berubah, perjalanan yang dilalui sampai ke tahapan kongres pun tak bisa
mendudukkan semua perwakilan BEM se Unhas. Meskipun begitu dengan alasan
demokrasi representatif, Kongres LEMA Unhas tahun 2013 telah terlaksana. Dari
14 BEM dan Senat Mahasiswa ada 4 organ yang menolak. Mereka yang menolak antara
lain BEM Sastra, BEM MIPA, Senat Mahasiswa Ekonomi dan Senat Mahasiswa
Kelautan. Status organ yang menolak terlibat dalam kongres LEMA pun juga tidak
jelas dalam LEMA nantinya.Pembentukan kembali LEMA saat ini jelas terseok-seok.
Tendensi menjadi latar belakang yang jelas dirasakan dalam prosesnya. Belum
bersatunya BEM se Unhas niscaya akan memberikan dampak yang signifikan jika
LEMA Unhas jadi dibentuk.
Universitas sebagai rumah kaum
intelektual adalah benteng penjagaan rasionalitas dimana nilai-nilai keadilan
dimunculkan dan menjaga peradaban sejarah manusia. Mahasiswa sebagai middle class dalam tatanan masyakat
memiliki peran vital dalam mengkritisi kebijakan penguasa dan corong aspirasi
mereka yang tertindas. Sehingga legitimasi terhadap sebuah organisasi bukanlah
keharusan, melainkan bisa mengikatkan diri dalam paguyuban untuk mengawal isu-isu
nasional maupun kampusmelalui gerakan kolektif adalah hal yang utama. Platform gerakan mestinya bisa berdampak
signifikan dengan adanya forum tanpa melalui model LEMA. Sehingga mahasiswa
Unhas jangan mau terpecah oleh fenomena LEMA yang terus berlarut-larut. Jika kesatuan gerakan saat ini bisa diwujudkan dalam bentuk ad hoc Forum Mahasiswa Unhas, FSLK atau apapun namanya dengan esensi yang sama kenapa
tidak?.
Pertanyaan paling dasar yang mesti
diajukan sebenarnya “Apakah LEMA Unhas sebenarnya menjadi kebutuhan kita saat
ini?”. Dan jika belum maka kenapa kita harus terburu-buru!
Penulis
adalah mahasiswa fakultas Hukum Unhas dan anggaota Dewan Perwakilan Mahasiswa
KEMA FHUH 2012-2013
0 komentar:
Posting Komentar