Minggu, 05 Januari 2014

KONTROVERSI MENUJU PEMBENTUKAN LEMA UNHAS


Diskursus menuju pembentukan Lembaga Eksekutif Mahasiswa Universitas Hasanuddin kembali marak dibicarakan. Sebuah baliho besar yang berdiri di pintu 1 Unhas tentang berita kongres lembaga kemahasiswaan tertinggi di Unhas sontak menarik perhatian penggiat lembaga di Unhas. Meskipun selama ini wacana pembentukan kembalinya LEMAmasih menuai pro dan kontra, kongres Lema telah menjadi harga mati bagi pengusungnya.
LEMA sebenarnya bukanlah model lembaga baru di dunia kemahasiswaan unhas. Berangkat dari sejarah, sebenarnya lembaga eksekutif mahasiswa di unhas telah ada dengan beragam model di zamannya. Model pertama ialah Dewan Mahasiswa (DEMA UNHAS) yang ada pada kurun waktu 1975-1978. Yang kemudian dibekukan pada tahun 1978 akibat pemberlakuan NKK/BKK di dunia kampus melalui surat edaran dari Kaskopkamtib Laksamana Sudomo. Kemudian dikenallah konsep Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) sebagai instruksi Dirjen Perguruan Tinggi sebagai lembaga perwakilan mahasiswa baru mengantikan DEMA. Pada tahun 1991 diakibatkan kerinduan terhadap lembaga kemahasiswaan yang memiliki otonomi sendiri, melalui jalan yang panjang terbentuklah Senat Mahasiswa Universitas Hasanuddin (SMUH). Namun Setelah mengalami pasang surut dan pasca pergolakan reformasi 1998 gaung SMUH juga tak terdengar lagi. Kemudian pada tahun 2000 diadakan kembali bursa pemilihan lembaga eksekutif mahasiswa yang kemudian berganti dari SMUH menjadi LEMA Unhas. Dalam perkembangannya LEMA Unhas tak luput menuai pro kontra pengurus lembaga se Unhas di zamannya. Rendahnya partisipasi politik warga Unhas dalam pemilu raya yang diadakan Badan Pekerja, tidak transparannya kerja-kerja LEMA dan tidak bersatunya BEM dan Senat mahasiswa fakultas menjadikan kinerja LEMA kontraproduktif dengan cita-cita awalnya dibentuknya. Dan sejak vakumnya LEMA pada 2008 diakibatkan semakin banyaknya organ yang memisahkan diri, semangat ber LEMA pun semakin luntur.
Di penghujung tahun 2013 wacana terbentuknya kembali LEMA Unhas semakin menggeliat. Konsolidasi yang dilakukan beberapa elit lembaga fakultas terkait LEMA telah mendapat restu dari birokrasi kampus. Beredarnya pamflet-pamflet hasil kongres yang telah dilaksanakan di Hutan Pendidikan Bengo-bengo seakan melegitimasi proses pembentukan LEMA yang semakin dekat. Seklumit dialektika yang berkembang dalam jalan menuju LEMA menarik untuk disimak.
Sosalisasi abu-abu
Sejatinya dunia kampus merupakan sebuah miniatur kecil Negara. Didalamanya terdapat lembaga eksekutif yang menjalankan roda pemerintahan dan ada juga yang berperan sebagai lembaga legislatif yang berfungsi mengawasi kinerja dari lembaga eksekutif. Tupoksi lembaga-lembaga diatas kemudian diaktualisasikan dalam lembaga kemahasiswaan dengan model yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kultur dalam dunia kampus. Mulai dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Senat Mahasiswa, Mahkamah Keluarga Mahasiswa (MKM), Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) mewarnai dinamika berlembaga dunia kemahasiswaan di Unhas. Proses pemilihan ketua lembaga pun dilakukan dengan cara yang demokratis yakni melalui mekanisme pemilihan secara langsung. LEMA sendiri sebagai lembaga kemahasiswaan tertinggi tentunya merupakan organisasi yang dianggap merepresentasikan suara mahasiswa Unhas. LEMA nantinya akan menjalankan roda pemerintahan sebagai wadah pergerakan sentralistik yang di harapkan bisa mengawal isu-isu nasional, lokal, maupun ke-unhasan.  Tetapi ketika proses pengemblengan pembentukan payung organ terbesar di Unhas ini kemudian masih belum maksimal apakah pelaksanaan kongres harus segera dilaksanakan?
Dalam sebuah diskusi tentang “Pro kontra LEMA Unhas” yang diadakan oleh Litbang Unit Kegiatan Pers Mahasiswa Unhas, salah seorang pembicara yang menjadi caretaker kongres justru kurang tahu bagaimana model sosialisasi yang dilakukan para konsolidator kepada warga Unhas. Akunya pola metedologi komunikasi yang digunakan diserahkan kepada konsolidator perwakilan BEM fakultas untuk disampaikan ke warganya. Di tambahkan oleh Nurdiansyah, Presiden BEM Fakultas Hukum bahwa konsolidasi sudah dilaksanakan sejak Desember 2012 lalu dan model sosialisasi dilakukan dengan menggelar diskusi pelataran dan rapat internal organ fakultas. Pertanyaan pun ramai bermunculan dari peserta diskusi tentang kinerja konsolidator yang di utusdianggap belum dirasakan warga, bahkan oleh fungsionaris lembaga yang notabenenya BEM fakultasnya rutin mengirimkan utusannya terjadi lempar balik pertanyaan satu sama lain.
Gambaran diskusi di atas sedikit banyak menceritakan bagaimana proses sosialisasi LEMA yang dilakukan sejatinya belum maksimal dan masih menuai banyak tanda tanya di kalangan fungsionaris lembaga. Ibaratnya dalam sebuah proses menuju pemilihan umum yang riil, idealnya harus didahului dengan pendidikan politik yang memadai kepada konstituennya. Sayangnya apa yang dilakukan teman-teman konsolidator belum memenuhi unsur klausula diatas. Dinamika politik kampus yang dijalani mahasiswa seharusnya menjadi media pembelajaran yang dilaksanakan dalamproses yang matang dan tidak mengulangi kesalahan sejarah yang sama. Tak ayal tuduhan bahwa wacana pembentukan LEMA sarat akan kepentingan dan hanya melibatkan ego elit-elit lembaga saja. Masih adanya pro kontra dalam internal organ tiap fakultas tidak jarang terjadi. Meskipun begitu faktanya para elit lembaga tetap berjalan kedepan.
            Belum bersatunya BEM se Unhas
Mungkin sudah bukan cerita baru bagaimana begitu sulitnya mempersatukan 14 BEM fakultas se Unhas di dalam payung LEMA. Sejak disepakatinya model LEMA sebagai lembaga eksekutif tertinggi, organ se Unhas tak pernah sekalipun lengkap duduk bersama. Berbagai alasan pun mencuat, mulai dari ego fakultas yang sudah merasa mapan, sejarah  kelam dalam perjalanan LEMA dan penolakan terhadap eksistensi LEMA yang dijadikan pertarungan politik organ ekstra. Tak banyak berubah, perjalanan yang dilalui sampai ke tahapan kongres pun tak bisa mendudukkan semua perwakilan BEM se Unhas. Meskipun begitu dengan alasan demokrasi representatif, Kongres LEMA Unhas tahun 2013 telah terlaksana. Dari 14 BEM dan Senat Mahasiswa ada 4 organ yang menolak. Mereka yang menolak antara lain BEM Sastra, BEM MIPA, Senat Mahasiswa Ekonomi dan Senat Mahasiswa Kelautan. Status organ yang menolak terlibat dalam kongres LEMA pun juga tidak jelas dalam LEMA nantinya.Pembentukan kembali LEMA saat ini jelas terseok-seok. Tendensi menjadi latar belakang yang jelas dirasakan dalam prosesnya. Belum bersatunya BEM se Unhas niscaya akan memberikan dampak yang signifikan jika LEMA Unhas jadi dibentuk.
Universitas sebagai rumah kaum intelektual adalah benteng penjagaan rasionalitas dimana nilai-nilai keadilan dimunculkan dan menjaga peradaban sejarah manusia. Mahasiswa sebagai middle class dalam tatanan masyakat memiliki peran vital dalam mengkritisi kebijakan penguasa dan corong aspirasi mereka yang tertindas. Sehingga legitimasi terhadap sebuah organisasi bukanlah keharusan, melainkan bisa mengikatkan diri dalam paguyuban untuk mengawal isu-isu nasional maupun kampusmelalui gerakan kolektif adalah hal yang utama. Platform gerakan mestinya bisa berdampak signifikan dengan adanya forum tanpa melalui model LEMA. Sehingga mahasiswa Unhas jangan mau terpecah oleh fenomena LEMA yang terus berlarut-larut. Jika kesatuan gerakan saat ini bisa diwujudkan dalam bentuk ad hoc Forum Mahasiswa Unhas, FSLK atau apapun namanya dengan esensi yang sama kenapa tidak?.
Pertanyaan paling dasar yang mesti diajukan sebenarnya “Apakah LEMA Unhas sebenarnya menjadi kebutuhan kita saat ini?”. Dan jika belum maka kenapa kita harus terburu-buru!

Penulis adalah mahasiswa fakultas Hukum Unhas dan anggaota Dewan Perwakilan Mahasiswa KEMA FHUH  2012-2013

0 komentar:

Posting Komentar