“Kasus Tahanan Politik G-30 S adalah pelanggaran HAM
paling keji yang pernah dilakukan oleh Indonesia terhadap bangsanya sendiri,
mungkin disepanjang sejarah bangsa Indonesia”
Yap Thiam Hien
The
Act of Killing sebuah film besutan Joshua Oppenheimer mendapat penghargaan
film dokumenter terbaik dalam ajang BAFTA
Awards Film Festival 2014 di Inggris. Film
yang menampilkan reka ulang pembantaian anggota PKI oleh Anwar Congo mendapat
respon penonton sebagai salah satu cerita tersadis dalam sejarah modern sebuah
bangsa.
Fenomena tragedi politik 1965 telah
dipalsukan dengan rapih pada masa orde baru yang dipimpin oleh Soeharto. Label
PKI sebagai aliran terlarang di Indonesia dengan pembantaian anggota partai dan
underbow nya menyisakan sakit dan
neraka akibat sanksi sosial sampai hari ini. Rilis resmi tentang jumlah korban
tragedy politik 1965 sendiri masih simpang siur, mulai dari 500 ribu hingga 3
juta jiwa melayang dari Sumatera, Jawa,
Bali dan Sulawesi. Gerakan pembantaian yang dilakukan oleh masyarakat yang otaknya
telah diracuni stigma anti PKI menjadi semangat para eksekutor, mulai dari
Pemuda Pancasila, Banser dan GP Ansor tak segan menjadi tukang jagal.
Film yang dibuat Joshua ini sendiri
merupakan antitesis terhadap propaganda film yang dibuat di masa orde baru
seperti Pengkhianatan G30S/PKI (1984)
dan Penumpasan Sisa- Sisa PKI Blitar
Selatan (1988). Film-film yang menyudutkan PKI dalam sejarah seakan-akan
dibuat tak berarti apa-apa dibandingkan cerita bagaimana Anwar dan
teman-temannya menghabisi anggota PKI satu persatu di Sumatera Utara. Dalam alur
cerita di The Act of Killing Anwar
Congo bermain sebagai dirinya sendiri sebagai preman bioskop yang geram dengan
perilaku orang-orang PKI yang anti barat. Film-film bioskop yang notabenenya
saat itu dikuasai film barat sebagai primadona dilarang pemutarannya oleh
aktivis PKI. Anwar yang penghasilannya menurun kemudian menaruh dendam. Dan
ketika darah anggota PKI diberitakan menjadi halal, Anwar Congo tak segan
memenggal kepala mereka.
Anwar bersama teman-temannya
memainkan adegan demi adegan berdasarkan ingatan mereka. Mulai dari penculikan,
penyiksaan, dan seni mencabut nyawa diperankan secara natural. Dengan gaya
cerita dimana Anwar sendiri yang menentukan apa dan bagaimana proses
pembantaian anggota PKI, nurani penonton akan diguncang. Yang tak kalah menarik
ialah bagaimana cerita para pelaku pembantaian menjalani kehidupannya sekarang.
Ada yang mendapat posisi di pemerintahan dan duduk di parlemen.
Dalam jawabannya di Tempo Joshua ingin menyampaikan seprti
apa kebudayaan yang terbangun ketika para pembunuh menang, berkuasa, memerintah
dan memimpin masyarakat. Anwar dan filmnya hanya simbol dari seluruh peristiwa
kekerasan yang dialami orang Indonesia sejak 1965.
Semoga The Act of Killing bisa
mengubah cara pandang masyarakat Indonesia tentang sejarah kelam 1965.
0 komentar:
Posting Komentar