Selasa, 18 Februari 2014

THE ACT OF KILLING MENDAPAT PENGHARGAAN



“Kasus Tahanan Politik G-30 S adalah pelanggaran HAM paling keji yang pernah dilakukan oleh Indonesia terhadap bangsanya sendiri, mungkin disepanjang sejarah bangsa Indonesia”
Yap Thiam Hien
            The Act of Killing sebuah film besutan Joshua Oppenheimer mendapat penghargaan film dokumenter terbaik dalam ajang BAFTA Awards Film Festival 2014 di Inggris. Film yang menampilkan reka ulang pembantaian anggota PKI oleh Anwar Congo mendapat respon penonton sebagai salah satu cerita tersadis dalam sejarah modern sebuah bangsa.
            Fenomena tragedi politik 1965 telah dipalsukan dengan rapih pada masa orde baru yang dipimpin oleh Soeharto. Label PKI sebagai aliran terlarang di Indonesia dengan pembantaian anggota partai dan underbow nya menyisakan sakit dan neraka akibat sanksi sosial sampai hari ini. Rilis resmi tentang jumlah korban tragedy politik 1965 sendiri masih simpang siur, mulai dari 500 ribu hingga 3 juta jiwa  melayang dari Sumatera, Jawa, Bali dan Sulawesi. Gerakan pembantaian yang dilakukan oleh masyarakat yang otaknya telah diracuni stigma anti PKI menjadi semangat para eksekutor, mulai dari Pemuda Pancasila, Banser dan GP Ansor tak segan menjadi tukang jagal.
            Film yang dibuat Joshua ini sendiri merupakan antitesis terhadap propaganda film yang dibuat di masa orde baru seperti Pengkhianatan G30S/PKI (1984) dan Penumpasan Sisa- Sisa PKI Blitar Selatan (1988). Film-film yang menyudutkan PKI dalam sejarah seakan-akan dibuat tak berarti apa-apa dibandingkan cerita bagaimana Anwar dan teman-temannya menghabisi anggota PKI satu persatu di Sumatera Utara. Dalam alur cerita di The Act of Killing Anwar Congo bermain sebagai dirinya sendiri sebagai preman bioskop yang geram dengan perilaku orang-orang PKI yang anti barat. Film-film bioskop yang notabenenya saat itu dikuasai film barat sebagai primadona dilarang pemutarannya oleh aktivis PKI. Anwar yang penghasilannya menurun kemudian menaruh dendam. Dan ketika darah anggota PKI diberitakan menjadi halal, Anwar Congo tak segan memenggal kepala mereka.
          Anwar bersama teman-temannya memainkan adegan demi adegan berdasarkan ingatan mereka. Mulai dari penculikan, penyiksaan, dan seni mencabut nyawa diperankan secara natural. Dengan gaya cerita dimana Anwar sendiri yang menentukan apa dan bagaimana proses pembantaian anggota PKI, nurani penonton akan diguncang. Yang tak kalah menarik ialah bagaimana cerita para pelaku pembantaian menjalani kehidupannya sekarang. Ada yang mendapat posisi di pemerintahan dan duduk di parlemen.
            Dalam jawabannya di Tempo Joshua ingin menyampaikan seprti apa kebudayaan yang terbangun ketika para pembunuh menang, berkuasa, memerintah dan memimpin masyarakat. Anwar dan filmnya hanya simbol dari seluruh peristiwa kekerasan yang dialami orang Indonesia sejak 1965.
                   Semoga The Act of Killing bisa mengubah cara pandang masyarakat Indonesia tentang sejarah kelam 1965.

0 komentar:

Posting Komentar