Jumat, 27 Desember 2013

MENIT-MENIT YANG LUPUT DARI CATATAN SEJARAH INDONESIA

Berikut ini adalah tulisan seorang wartawan yang meliput jajak pendapat di Dili, Timor-timur. Tulisan berikut ini sungguh luar biasa, namun sekaligus membuat dada sesak.
Ditulis oleh Kafil Yamin, wartawan kantor berita The IPS Asia-Pacific, Bangkok, yang dikirim ke Timor Timur pada tanggal 28 Agustus 1999 untuk meliput ‘Jajak Pendapat Timor-Timur’ yang diselenggarakan UNAMET [United Nations Mission in East Timor], 30 Agustus 1999.  

MENIT-MENIT YANG LUPUT DARI CATATAN SEJARAH INDONESIA
Oleh: Kafil Yamin

Jajak pendapat itu, yang tidak lain dan tidak bukan adalah referendum, adalah buah dari berbagai tekanan internasioal kepada Indonesia yang sudah timbul sejak keruntuhan Uni Soviet tahun 1989. Belakangan tekanan itu makin menguat dan menyusahkan Indonesia. Ketika krisis moneter menghantam negara-negara Asia Tenggara selama tahun 1997-1999, Indonesia terkena. Guncangan ekonomi sedemikian hebat; berimbas pada stabilitas politik; dan terjadilah jajak pendapat itu.
Kebangkrutan ekonomi Indonesia dimanfaatkan oleh pihak Barat, melalui IMF dan Bank Dunia, untuk menekan Indonesia supaya melepas Timor Timur. IMF dan Bank Dunia bersedia membantu Indonesia lewat paket yang disebut bailout, sebesar US$43 milyar, asal Indonesia melepas Timtim.
Apa artinya ini? Artinya keputusan sudah dibuat sebelum jajak pendapat itu dilaksanakan. Artinya bahwa jajak pendapat itu sekedar formalitas. Namun meski itu formalitas, toh keadaan di kota Dili sejak menjelang pelaksanan jajak pendapat itu sudah ramai nian. Panita jajak pendapat didominasi bule Australia dan Portugis. Wartawan asing berdatangan. Para pegiat LSM pemantau jajak pendapat, lokal dan asing, menyemarakkan pula – untuk sebuah sandiwara besar. Hebat bukan?

Sekitar Jam 1 siang, tanggal 28 Agustus 1999, saya mendarat di Dili. Matahari mengangkang di tengah langit. Begitu menyimpan barang-barang di penginapan [kalau tidak salah, nama penginapannya Dahlia, milik orang Makassar], saya keliling kota Dili. Siapapun yang berada di sana ketika itu, akan berkesimpulan sama dengan saya: kota Dili didominasi kaum pro-integrasi. Mencari orang Timtim yang pro-kemerdekaan untuk saya wawancarai, tak semudah mencari orang yang pro-integrasi.
Penasaran, saya pun keluyuran keluar kota Dili, sampai ke Ainaro dan Liquica, sekitar 60 km dari Dili. Kesannya sama: lebih banyak orang-orang pro-integrasi. Di banyak tempat, banyak para pemuda-pemudi Timtim mengenakan kaos bertuliskan Mahidi [Mati-Hidup Demi Integrasi], Gadapaksi [Garda Muda Penegak Integrasi], BMP [Besi Merah Putih], Aitarak [Duri].
Setelah seharian berkeliling, saya berkesimpulan Timor Timur akan tetap bersama Indonesia. Bukan hanya dalam potensi suara, tapi dalam hal budaya, ekonomi, sosial, tidak mudah membayangkan Timor Timur bisa benar-benar terpisah dari Indonesia. Semua orang Timtim kebanyakan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Para penyedia barang-barang kebutuhan di pasar-pasar adalah orang Indonesia. Banyak pemuda-pemudi Timtim yang belajar di sekolah dan universitas Indonesia, hampir semuanya dibiayai pemerintah Indonesia. Guru-guru di sekolah-sekolah Timtim pun kebanyakan orang Indonesia, demikian juga para petugas kesehatan, dokter, mantri.

Selepas magrib, 28 Agustus 1999, setelah mandi dan makan, saya duduk di lobi penginapan, minum kopi dan merokok. Tak lama kemudian, seorang lelaki berusia 50an, tapi masih terlihat gagah, berambut gondrong, berbadan atletis, berjalan ke arah tempat duduk saya; duduk dekat saya dan mengeluarkan rokok. Rupanya ia pun hendak menikmati rokok dan kopi.
Mungkin karena dipersatukan oleh kedua barang beracun itu, kami cepat akrab. Dia menyapa duluan: “Dari mana?” sapanya.
“Dari Jakarta,” jawabku, sekalian menjelaskan bahwa saya wartawan, hendak meliput jajak pendapat.
Entah kenapa, masing-masing kami cepat larut dalam obrolan. Dia tak ragu mengungkapkan dirinya. Dia adalah mantan panglima pasukan pro-integrasi, yang tak pernah surut semangatnya memerangi Fretilin [organisasi pro-kemerdekaan], “karena bersama Portugis, mereka membantai keluarga saya,” katanya. Suaranya dalam, dengan tekanan emosi yg terkendali. Terkesan kuat dia lelaki matang yang telah banyak makan asam garam kehidupan. Tebaran uban di rambut gondrongnya menguatkan kesan kematangan itu.
“Panggil saja saya Laffae,” katanya.
“Itu nama Timor atau Portugis?” Saya penasaran.
“Timor. Itu julukan dari kawan maupun lawan. Artinya ‘buaya’,” jelasnya lagi.
Julukan itu muncul karena sebagai komandan milisi, dia dan pasukannya sering tak terdeteksi lawan. Setelah lawan merasa aman, tiba-tiba dia bisa muncul di tengah pasukan lawannya dan melahap semua yang ada di situ. Nah, menurut anak buah maupun musuhnya, keahlian seperti itu dimiliki buaya.
Dia pun bercerita bahwa dia lebih banyak hidup di hutan, tapi telah mendidik, melatih banyak orang dalam berpolitik dan berorganisasi. “Banyak binaan saya yang sudah jadi pejabat,” katanya. Dia pun menyebut sejumlah nama tokoh dan pejabat militer Indonesia yang sering berhubungan dengannya.
Rupanya dia seorang tokoh. Memang, dilihat dari tongkrongannya, tampak sekali dia seorang petempur senior. Saya teringat tokoh pejuang Kuba, Che Guevara. Hanya saja ukuran badannya lebih kecil.
“Kalau dengan Eurico Guterres? Sering berhubungan?” saya penasaran.
“Dia keponakan saya,” jawab Laffae. “Kalau ketemu, salam saja dari saya.”
Cukup lama kami mengobrol. Dia menguasai betul sejarah dan politik Timtim dan saya sangat menikmatinya. Obrolan usai karena kantuk kian menyerang.
Orang ini menancapkan kesan kuat dalam diri saya. Sebagai wartawan, saya telah bertemu, berbicara dengan banyak orang, dari pedagang kaki lima sampai menteri, dari germo sampai kyai, kebanyakan sudah lupa. Tapi orang ini, sampai sekarang, saya masih ingat jelas.
Sambil berjalan menuju kamar, pikiran bertanya-tanya: kalau dia seorang tokoh, kenapa saya tak pernah mendengar namanya dan melihatnya? Seperti saya mengenal Eurico Gueterres, Taur Matan Ruak? Xanana Gusmao? Dan lain-lain? Tapi sudahlah.

Pagi tanggal 29 Agustus 1999. Saya keluar penginapan hendak memantau situasi. Hari itu saya harus kirim laporan ke Bangkok. Namun sebelum keliling saya mencari rumah makan untuk sarapan. Kebetulan lewat satu rumah makan yang cukup nyaman. Segera saya masuk dan duduk. Eh, di meja sana saya melihat Laffae sedang dikelilingi 4-5 orang, semuanya berseragam Pemda setempat. Saya tambah yakin dia memang orang penting – tapi misterius.
Setelah bubar, saya tanya Laffae siapa orang-orang itu. “Yang satu Bupati Los Palos, yang satu Bupati Ainaro, yang dua lagi pejabat kejaksaan,” katanya. “Mereka minta nasihat saya soal keadaan sekarang ini,” tambahnya.
Kalau kita ketemu Laffae di jalan, kita akan melihatnya ‘bukan siapa-siapa’. Pakaiannya sangat sederhana. Rambutnya terurai tak terurus. Dan kalau kita belum ‘masuk’, dia nampak pendiam.
Saya lanjut keliling. Kota Dili makin semarak oleh kesibukan orang-orang asing. Terlihat polisi dan tentara UNAMET berjaga-jaga di setiap sudut kota. Saya pun mulai sibuk, sedikitnya ada tiga konferensi pers di tempat yang berbeda. Belum lagi kejadian-kejadian tertentu. Seorang teman wartawan dari majalah Tempo, Prabandari, selalu memberi tahu saya peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Dari berbagai peristiwa itu, yang menonjol adalah laporan dan kejadian tentang kecurangan panitia penyelenggara, yaitu UNAMET. Yang paling banyak dikeluhkan adalah bahwa UNAMET hanya merekrut orang-orang pro-kemerdekaan di kepanitiaan. Klaim ini terbukti. Saya mengunjungi hampir semua TPS terdekat, tidak ada orang pro-integrasi yang dilibatkan.
Yang bikin suasana panas di kota yang sudah panas itu adalah sikap polisi-polisi UNAMET yang tidak mengizinkan pemantau dan pengawas dari kaum pro-integrasi, bahkan untuk sekedar mendekat. Paling dekat dari jarak 200 meter. Tapi pemantau-pemantau bule bisa masuk ke sektratriat. Bahkan ikut mengetik!
Di sini saya perlu mengungkapkan ukuran mental orang-orang LSM dari Indonesia, yang kebanyakan mendukung kemerdekaan Timtim karena didanai asing. Mereka tak berani mendekat ke TPS dan sekretariat, baru ditunjuk polisi UNAMET saja langsung mundur. Tapi kepada pejabat-pejabat Indonesia mereka sangat galak: menuding, menuduh, menghujat. Berani melawan polisi. Di hadapan polisi bule mereka mendadak jadi inlander betulan.
Tambah kisruh adalah banyak orang-orang pro-integrasi tak terdaftar sebagai pemilih. Dari 4 konferensi pers, 3 di antaranya adalah tentang ungkapan soal ini. Bahkan anak-anak Mahidi mengangkut segerombolan orang tua yang ditolak mendaftar pemilih karena dikenal sebagai pendukung integrasi.
Saya pun harus mengungkapkan ukuran mental wartawan-wartawan Indonesia di sini. Siang menjelang sore, UNAMET menyelenggarakan konferensi pers di Dili tentang rencana penyelenggaraan jajak pendapat besok. Saya tentu hadir. Lebih banyak wartawan asing daripada wartawan Indonesia. Saya yakin wartawan-wartawan Indonesia tahu kecurangan-kecurangan itu.
Saat tanya jawab, tidak ada wartawan Indonesia mempertanyakan soal praktik tidak fair itu. Bahkan sekedar bertanya pun tidak. Hanya saya yang bertanya tentang itu. Jawabannya tidak jelas. Pertanyaan didominasi wartawan-wartawan bule.
Tapi saya ingat betapa galaknya wartawan-wartawan Indonesia kalau mewawancarai pejabat Indonesia terkait dengan HAM atau praktik-praktik kecurangan. Hambatan bahasa tidak bisa jadi alasan karena cukup banyak wartawan Indonesia yang bisa bahasa Inggris. Saya kira sebab utamanya rendah diri, seperti sikap para aktifis LSM lokal tadi.
Setelah konferensi pers usai, sekitar 2 jam saya habiskan untuk menulis laporan. Isi utamanya tentang praktik-praktik kecurangan itu. Selain wawancara, saya juga melengkapinya dengan pemantauan langsung.
Kira-kira 2 jam setelah saya kirim, editor di Bangkok menelepon. Saya masih ingat persis dialognya:
“Kafil, we can’t run the story,” katanya.
“What do you mean? You send me here. I do the job, and you don’t run the story?” saya berreaksi.
“We can’t say the UNAMET is cheating…” katanya.
“That’s what I saw. That’s the fact. You want me to lie?” saya agak emosi.
“Do they [pro-integrasi] say all this thing because they know they are going to loose?”
“Well, that’s your interpretation. I’ll make it simple. I wrote what I had to and it’s up to you,”
“I think we still can run the story but we should change it.”
“ I leave it to you,” saya menutup pembicaraan.
Saya merasa tak nyaman. Namun saya kemudian bisa maklum karena teringat bahwa IPS Asia-Pacific itu antara lain didanai PBB.
***

Kira-kira jam 5:30 sore, 29 Agustus 1999, saya tiba di penginapan. Lagi-lagi, Laffae sedang dikerumuni tokoh-tokoh pro-integrasi Timtim. Terlihat Armindo Soares, Basilio Araujo, Hermenio da Costa, Nemecio Lopes de Carvalho, nampaknya mereka sedang membicarakan berbagai kecurangan UNAMET.
Makin malam, makin banyak orang berdatangan. Orang-orang tua, orang-orang muda, tampaknya dari tempat jauh di luar kota Dili. Kelihatan sekali mereka baru menempuh perjalanan jauh.
Seorang perempuan muda, cukup manis, tampaknya aktifis organisasi, terlihat sibuk mengatur rombongan itu. Saya tanya dia siapa orang-orang ini.
“Mereka saya bawa ke sini karena di desanya tidak terdaftar,” katanya. “Mereka mau saya ajak ke sini. Bahkan mereka sendiri ingin. Agar bisa memilih di sini. Tidak ada yang membiayai. Demi merah putih,” jawabnya bersemangat.
Saya tergetar mendengar bagian kalimat itu: “…demi merah putih.”
Mereka semua ngobrol sampai larut. Saya tak tahan. Masuk kamar. Tidur. Besok jajak pendapat.

Pagi 30 Agustus 1999. Saya keliling Dili ke tempat-tempat pemungutan suara. Di tiap TPS, para pemilih antri berjajar. Saya bisa berdiri dekat dengan antrean-antrean itu. Para ‘pemantau’ tak berani mendekat karena diusir polisi UNAMET.
Karena dekat, saya bisa melihat dan mendengar bule-bule Australia yang sepertinya sedang mengatur barisan padahal sedang kampanye kasar. Kebetulan mereka bisa bahasa Indonesia: “Ingat, pilih kemerdekaan ya!” teriak seorang cewek bule kepada sekelompok orang tua yang sedang antre. Bule-bule yang lain juga melakukan hal yang sama.
Sejenak saya heran dengan kelakuan mereka. Yang sering mengampanyekan kejujuran, hak menentukan nasib sendiri. Munafik, pikir saya. Mereka cukup tak tahu malu.
Setelah memantau 4-5 TPS saya segera mencari tempat untuk menulis. Saya harus kirim laporan. Setelah mengirim laporan. Saya manfaat waktu untuk rileks, mencari tempat yang nyaman, melonggarkan otot. Toh kerja hari itu sudah selesai.

Sampailah saya di pantai agak ke Timur, di mana patung Maria berdiri menghadap laut, seperti sedang mendaulat ombak samudra. Patung itu bediri di puncak bukit. Sangat besar. Dikelilingi taman dan bangunan indah. Untuk mencapai patung itu, anda akan melewati trap tembok yang cukup landai dan lebar. Sangat nyaman untuk jalan berombongan sekali pun. Sepanjang trap didindingi bukit yang dilapisi batu pualam. Di setiap kira jarak 10 meter, di dinding terpajang relief dari tembaga tentang Yesus, Bunda Maria, murid-murid Yesus, dengan ukiran yang sangat bermutu tinggi.
Patung dan semua fasilitasnya ini dibangun pemerintah Indonesia. Pasti dengan biaya sangat mahal. Ya, itulah biaya politik.
Tak terasa hari mulai redup. Saya harus pulang. Besok pengumuman hasil jajak pendapat.

Selepas magrib, 30 September 1999. Kembali saya menunaikan kewajiban yang diperintahkan oleh kebiasaan buruk: merokok sambil minum kopi di lobi penginapan. Kali ini, Laffae mendahului saya. Dia sudah duluan mengepulkan baris demi baris asap dari hidung dan mulutnya. Kami ngobrol lagi.
Tapi kali ini saya tidak leluasa. Karena banyak tamu yang menemui Laffae, kebanyakan pentolan-pentolan milisi pro-integrasi. Ditambah penginapan kian sesak. Beberapa pemantau nginap di situ. Ada juga polisi UNAMET perwakilan dari Pakistan.
Ada seorang perempuan keluar kamar, melihat dengan pandangan ‘meminta’ ke arah saya dan Laffae. Kami tidak mengerti maksudnya. Baru tau setelah lelaki pendampingnya bilang dia tak kuat asap rokok. Laffae lantas bilang ke orang itu kenapa dia jadi pemantau kalau tak kuat asap rokok. Kami berdua terus melanjutkan kewajiban dengan racun itu. Beberapa menit kemudian cewek itu pingsan dan dibawa ke klinik terdekat.
Saya masuk kamar lebih cepat. Tidur.
Pagi, 4 September 1999. Pengumuman hasil jajak pendapat di hotel Turismo Dili. Bagi saya, hasilnya sangat mengagetkan: 344.508 suara untuk kemerdekaan, 94.388 untuk integrasi, atau 78,5persen berbanding 21,5persen.
Ketua panitia mengumumkan hasil ini dengan penuh senyum, seakan baru dapat rezeki nomplok. Tak banyak tanya jawab setelah itu. Saya pun segera berlari mencari tempat untuk menulis laporan. Setelah selesai, saya balik ke penginapan.
Di lobi, Laffae sedang menonton teve yang menyiarkan hasil jajak pendapat. Sendirian. Saat saya mendekat, wajahnya berurai air mata. “Tidak mungkin. Ini tidak mungkin. Mereka curang..” katanya tersedu. Dia merangkul saya. Lelaki pejuang, tegar, matang ini mendadak luluh. Saya tak punya kata apapun untuk menghiburnya. Lagi pula, mata saya saya malah berkaca-kaca, terharu membayangkan apa yang dirasakan lelaki ini. Perjuangan keras sepanjang hidupnya berakhir dengan kekalahan.
Saya hanya bisa diam. Dan Laffae pun nampaknya tak mau kesedihannya terlihat orang lain. Setelah beberapa jenak ia berhasil bersikap normal.
“Kota Dili ini akan kosong..” katanya. Pelan tapi dalam. “Setelah kosong, UNAMET mau apa.”
Telepon berbunyi, dari Prabandari Tempo. Dia memberi tahu semua wartawan Indonesia segera dievakuasi pakai pesawat militer Hercules, karena akan ada penyisiran terhadap semua wartawan Indonesia. Saya diminta segera ke bandara saat itu juga. Kalau tidak, militer tidak bertanggung jawab. Semua wartawan Indonesia sudah berkumpul di bandara, tinggal saya. Hanya butuh lima menit bagi saya untuk memutuskan tidak ikut. “Saya bertahan, nDari. Tinggalkan saja saya.”
Laffae menguping pembicaraan. Dia menimpali: “Kenapa wartawan kesini kalau ada kejadian malah lari?” katanya. Saya kira lebih benar dia mikirnya.
Saya lantas keluar, melakukan berbagai wawancara, menghadiri konferensi pers, kebanyakan tentang kemarahan atas kecurangan UNAMET. “Anggota Mahidi saja ada 50 ribu; belum Gardapaksi, belum BMP, belum Halilintar, belum masyarakat yang tak ikut organisasi,” kata Nemecio Lopez, komandan milisi Mahidi.
Kembali ke penginapan sore, Laffae sedang menghadapi tamu 4-5 orang pentolan pro-integrasi. Dia menengok ke arah saya: “Kafil! Mari sini,” mengajak saya bergabung.
“Sebentar!” saya bersemangat. Saya tak boleh lewatkan ini. Setelah menyimpan barang-barang di kamar, mandi kilat. Saya bergabung. Di situ saya hanya mendengarkan. Ya, hanya mendengarkan.
“Paling-paling kita bisa siapkan seribuan orang,” kata ketua Armindo Soares, saya bertemu dengannya berkali-kali selama peliputan.
“Saya perlu lima ribu,” kata Laffae.
“Ya, lima ribu baru cukup untuk mengguncangkan kota Dili,” katanya, sambil menengok ke arah saya.
“Kita akan usahakan,” kata Armindo.
Saya belum bisa menangkap jelas pembicaraan mereka ketika seorang kawan memberitahu ada konferensi pers di kediaman Gubernur Abilio Soares. Saya segera siap-siap berangkat ke sana. Sekitar jam 7 malam, saya sampai di rumah Gubernur. Rupanya ada perjamuan. Cukup banyak tamu. Soares berbicara kepada wartawan tentang penolakannya terhadap hasil jajak pendapat karena berbagai kecurangan yang tidak bisa dimaklumi.
Setelah ikut makan enak, saya pulang ke penginapan sekitar jam 8:30 malam. Sudah rindu bersantai dengan Laffae sambil ditemani nikotin dan kafein. Tapi Laffae tidak ada. Anehnya, penginapan jadi agak sepi. Para pemantau sudah check-out, juga polisi-polisi UNAMET dari Pakistan itu. Tak banyak yang bisa dilakukan kecuali tidur.
Namun saat rebah, kantuk susah datang karena terdengar suara-suara tembakan. Mula-mula terdengar jauh. Tapi makin lama makin terdengar lebih dekat dan frekuensi tembakannya lebih sering. Mungkin karena perut kenyang dan badan capek, saya tertidur juga.

Tanggal 5 September pagi, sekitar jam 09:00, saya keluar penginapan. Kota Dili jauh lebi lengang. Hanya terlihat kendaran-kendaraan UNAMET melintas di jalan. Tak ada lagi kendaraan umum. Tapi saya harus keluar. Apa boleh buat – jalan kaki. Makin jauh berjalan makin sepi, tapi tembakan nyaris terdengar dari segala arah. Sesiang ini, Dili sudah mencekam.
Tidak ada warung atau toko buka. Perut sudah menagih keras. Apa boleh buat saya berjalan menuju hotel Turismo, hanya di hotel besar ada makanan. Tapi segera setelah itu saya kembali ke penginapan. Tidak banyak yang bisa dikerjakan hari itu.
Selepas magrib 5 Setember 1999. Saya sendirian di penginapan. Lapar. Tidak ada makanan. Dili sudah seratus persen mencekam. Bunyi tembakan tak henti-henti. Terdorong rasa lapar yang sangat, saya keluar penginapan.
Selain mencekam. Gelap pula. Hanya di tempat-tempat tertentu lampu menyala. Baru kira-kira 20 meter berjalan, gelegar tembakan dari arah kanan. Berhenti. Jalan lagi. Tembakan lagi dari arah kiri. Tiap berhenti ada tarikan dua arah dari dalam diri: kembali atau terus. Entah kenapa, saya selalu memilih terus, karena untuk balik sudah terlanjur jauh. Saya berjalan sendirian; dalam gelap; ditaburi bunyi tembakan. Hati dipenuhi adonan tiga unsur: lapar, takut, dan perjuangan menundukkan rasa takut. Lagi pula, saya tak tau ke arah mana saya berjalan. Kepalang basah, pokoknya jalan terus.
Sekitar jam 11 malam, tanpa disengaja, kaki sampai di pelabuhan Dili. Lumayan terang oleh lampu pelabuhan. Segera rasa takut hilang karena di sana banyak sekali orang. Mereka duduk, bergeletak di atas aspal atau tanah pelabuhan. Rupanya, mereka hendak mengungsi via kapal laut.
Banyak di antara mereka yang sedang makan nasi bungkus bersama. Dalam suasa begini, malu dan segan saya buang ke tengah laut. Saya minta makan! “Ikut makan ya?” kata saya kepada serombongan keluarga yang sedang makan bersama. “Silahkan bang!.. silahkan!..” si bapak tampak senang. Tunggu apa lagi, segera saya ambil nasinya, sambar ikannya. Cepat sekali saya makan. Kenyang sudah, sehingga ada tenaga untuk kurang ajar lebih jauh: sekalian minta rokok ke bapak itu. Dikasih juga.
Sekitar jam 3 malam saya berhasil kembali ke penginapan.

Pagi menjelang siang, tanggal 6 September 1999. Saya hanya duduk di lobi penginapan karena tidak ada kendaraan. Tidak ada warung dan toko yang buka. Yang ada hanya tembakan tak henti-henti. Dili tak berpenghuni – kecuali para petugas UNAMET. Nyaris semua penduduk Dili mengungsi, sebagian via kapal, sebagian via darat ke Atambua. Orang-orang pro-kemerdekaan berlarian diserang kaum pro-integrasi. Markas dan sekretariat dibakar. Darah tumpah lagi entah untuk keberapa kalinya.
Sekarang, saya jadi teringat kata-kata Laffae sehabis menyaksikan pengumuman hasil jajak pedapat kemarin: “Dili ini akan kosong..”
Saya pun teringat kata-kata dia: “Saya perlu lima ribu orang untuk mengguncang kota Dili..” Ya, sekarang saya berkesimpulan ini aksi dia. Aksi pejuang pro-integrasi yang merasa kehilangan masa depan. Ya, hanya saya yang tahu siapa tokoh utama aksi bumi hangus ini, sementara teve-teve hanya memberitakan penyerangan mililis pro-integrasi terhadap kaum pro-kemerdekaan.
Tentu, orang-orang pro-integrasi pun mengungsi. Laffae dan pasukannya ingin semua orang Timtim bernasib sama: kalau ada satu pihak yang tak mendapat tempat di bumi Loro Sae, maka semua orang timtim harus keluar dari sana. Itu pernah diucapkannya kepada saya.
Inilah hasil langsung jajak pendapat yang dipaksakan harus dimenangkan. Hukum perhubungan antar manusia saat itu sepasti hukum kimia: tindakan lancung dan curang pasti berbuah bencana.
***

Saya harus pulang, karena tidak banyak yang bisa dilihat dan ditemui. Untung masih ada omprengan yang mau mengantara ke bandara. Sekitar jam 11 pagi saya sampai di pelabuhan udara Komoro. Keadaan di bandara sedang darurat. Semua orang panik. Semua orang ingin mendapat tiket dan tempat duduk pada jam penerbangan yang sama. Karena hura-hara sudah mendekati bandara. Lagi pula penerbangan jam itu adalah yang satu-satunya dan terakhir.
Bule-bule yang biasanya tertib kini saling sikut, saling dorong sampai ke depan komputer penjaga kounter. Ada bule yang stres saking tegangnya sampai-sampai minta rokok kepada saya yg berdiri di belakang tenang-tenang saja. Beginilah nikmatnya jadi orang beriman.
Banyak yang tidak kebagian tiket. Entah kenapa saya lancar-lancar saja. Masuk ke ruangan tunggu, di situ sudah ada Eurico Gutteres. Saya hampiri dia, saya bilang saya banyak bicara dengan Laffae dan dia menyampaikan salam untuknya. Eurico memandang saya agak lama, pasti karena saya menyebut nama Laffae itu.

Sore, 7 Novembe3, 1999, saya mendarat di Jakarta.
Penduduk Timtim mengungsi ke Atambua, NTT. Sungguh tidak mudah mereka mengungsi. Polisi UNAMET berusaha mencegah setiap bentuk pengungsian ke luar Dili. Namun hanya sedikit yang bisa mereka tahan di Dili.

Di kamp-kamp pengungsian Atambua, keadaan sungguh memiriskan hati. Orang-orang tua duduk mecakung; anak-anak muda gelisah ditelikung rasa takut; sebagian digerayangi rasa marah dan dendam; anak-anak diliputi kecemasan. Mereka adalah yang memilih hidup bersama Indonesia. Dan pilihan itu mengharuskan mereka terpisah dari keluarga.
Pemerintah negara yang mereka pilih sebagai tumpuan hidup, jauh dari menyantuni mereka. Kaum milisi pro-integrasi dikejar-kejar tuntutan hukum atas ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’, dan Indonesia, boro-boro membela mereka, malah ikut mengejar-ngejar orang Timtim yang memilih merah putih itu. Eurico Guterres dan Abilio Soares diadili dan dihukum di negara yang dicintai dan dibelanya.
Jendral-jendral yang dulu menikmati kekuasaan di Timtim, sekarang pada sembunyi. Tak ada yang punya cukup nyali untuk bersikap tegas, misalnya: “Kami melindungi rakyat Timtim yang memilih bergabung dengan Indonesia.” Padahal, mereka yang selalu mengajarkan berkorban untuk negara; menjadi tumbal untuk kehormatan pertiwi, dengan nyawa sekalipun.
Sementara itu, para pengungsi ditelantarkan. Tak ada solidaritas kebangsaan yang ditunjukkan pemerintah dan militer Indonesia.
Inilah tragedi kemanusiaan. Melihat begini, jargon-jargon negara-negara Barat, media asing, tentang ‘self determination’, tak lebih dari sekedar ironi pahit. Sikap negara-negara Barat dan para aktifis kemanusiaan internasional yang merasa memperjuangkan rakyat Timtim jadi terlihat absurd. Sebab waktu telah membuktikan bahwa yang mereka perjuangkan tak lebih tak kurang adalah sumberdaya alam Timtim, terutama minyak bumi, yang kini mereka hisap habis-habisan.
Pernah Laffae menelepon saya dari Jakarta, kira-kira 3 bulan setelah malapetaka itu. Ketika itu saya tinggal di Bandung. Dia bilang ingin ketemu saya dan akan datang ke Bandung. Saya sangat senang. Tapi dia tak pernah datang..saya tidak tahu sebabnya. Mudah-mudahan dia baik-baik saja.
***

12 TAHUN BERALU SUDAH. APA KABAR BAILOUT IMF YANG 43 MILYAR DOLAR ITU? SAMPAI DETIK INI, UANG ITU ENTAH DI MANA. ADA BEBERAPA PERCIK DICAIRKAN TAHUN 1999-2000, TAK SAMPAI SEPEREMPATNYA. DAN TIDAK MENOLONG APA-APA. YANG TERBUKTI BUKAN MENCAIRKAN DANA YANG DIJANJIKAN, TAPI MEMINTA PEMERINTAH INDONESIA SUPAYA MENCABUT SUBSIDI BBM, SUBSIDI PANGAN, SUBSIDI LISTRIK, YANG MEMBUAT RAKYAT INDONESIA TAMBAH MISKIN DAN SENGSARA. ANEHNYA, SEMUA SARANNYA ITU DITURUT OLEH PEMERINTAH RENDAH DIRI BIN INLANDER INI.

Yang paling dibutuhkan adalah menutupi defisit anggaran. Untuk itulah dana pinjaman [bukan bantuan] diperlukan. Namun IMF mengatasi defisit angaran dengan akal bulus: mencabut semua subsidi untuk kebutuhan rakyat sehingga defisit tertutupi, sehingga duit dia tetap utuh. Perkara rakyat ngamuk dan makin sengsara, peduli amat.
Melengkapi akal bulusnya itu IMF meminta pemerintah Indonesia menswastakan semua perusahaan negara, seperti Bank Niaga, BCA, Telkom, Indosat.
Pernah IMF mengeluarkan dana cadangan sebesar 9 milyar dolar. Tapi, seperti dikeluhkan Menteri Ekonomi Kwik Kian Gie ketika itu, seperak pun dana itu tidak bisa dipakai karena hanya berfungsi sebagai pengaman. Apa bedanya dengan dana fiktif?
Lagi pula, kenapa ketika itu pemerintah Indonesia seperti tak punya cadangan otak, yang paling sederhana sekalipun.
KENAPA MAU MELEPAS TIMTIM DENGAN IMBALAN UTANG? BUKANKAN SEMESTINYA KOMPENSASI? ADAKAH DI DUNIA INI ORANG YANG HARTANYA DI BELI DENGAN UTANG? NIH SAYA BAYAR BARANGMU. BARANGMU SAYA AMBIL, TAPI KAU HARUS TETAP MENGEMBALIKAN UANG ITU. BUKANKAH INI SAMA PERSIS DENGAN MEMBERI GRATIS? DAN DALAM KASUS INI, YANG DIKASIH ADALAH NEGARA? YA, INDONESIA MEMBERI NEGARA KEPADA IMF SECARA CUMA-CUMA.
Kalau saya jadi wakil pemerintah Indonesia waktu itu, saya akan menawarkan ‘deal’ yang paling masuk akal: “Baik, Timor Timur kami lepas tanpa syarat. Ganti saja dana yang sudah kami keluarkan untuk membangun Timtim selama 24 tahun.” Dengan demikian, tidak ada utang piutang.
SAMPAI HARI INI INDONESIA MASIH MENYICIL UTANG KEPADA IMF, UNTUK SESUATU YANG TAK PERNAH IA DAPATKAN. SAYA HARAP GENERASI MUDA INDONESIA TIDAK SEBODOH PARA PEMIMPIN SEKARANG.


*Tulisan ini saya copy dari blog KabarNet. Kejadian di atas merupakan catatan sejarah yang kelam di Indonesia. Dan hal serupa sudah coba dilaksanakan di bumi Papua. Dengan invasi perusahaan asing, Amerika, Inggris dan koleganya melakukan manuver politik yang perlahan tapi pasti mengincar sumber daya alam papua yang kaya. Pemerintah harus waras dan mengembalikan konsep BERDIKARI untuk menghidupi negerinya sendiri!

Kamis, 26 Desember 2013

JALAN


Di permulaan semuanya berawal
Berbekal sama satu dan lainnya

Di perempatan kita belajar
Mengenal baik dan buruk dunia
Mengisi ruang yang kosong di jiwa dan pikiran

Di pertengahan kita bercermin
Membedah kecacatan yang ada didalam darah dan daging
Dari yang nampak dan yang gaib

Dan di akhir perjalanan
Kita menanti

Rabu, 25 Desember 2013

BELAJARLAH DARI FREEDOM WRITERS



           Freedom writers tidak termasuk dalam kategori film “box office” yang menghabiskan ratusan juta dollar dalam penggarapannya, dibintangi artis Hollywood papan atas, ataupun visual effect yang canggih, film ini menyajikan drama sederhana yang menceritakan kisah heroik seorang guru dan para murid dari ruangan 203 menata masa depan mereka dengan melawan kerasnya kehidupan yang sedang mereka hadapi. Freedom Writers merupakan sebuah karya inspiratif yang mengajarkan kita kembali bagaimana pentingnya menghargai sebuah perbedaan, melawan sistem pendidikan birokratis yang terlalu kaku, dan nilai-nilai kejujuran. Nilai yang mungkin sulit ditemukan dalam tatanan masyarakat multikultural yang tumbuh dalam konflik berlatarbelakang rasisme dan primordial yang kuat. Film ini merupakan kisah nyata dari buku harian murid-murid yang berada di ruang 203 sekolah Woodrow Wilson H.S Long Beach, California, Amerika Serikat. Buku harian tersebut Kemudian disatukan oleh guru bahasa inggris favorit mereka, Erin Grunwell.
           Film freedom writers berlatar belakang Kondisi Amerika di tahun 1994-1996 yang masih kental dengan nuansa rasisme, dimana masing-masing ras saling berusaha menyerang ataupun mempertahankan diri serta wilayah satu sama lain. Kondisi itu pun terbawa sampai ke sekolah Woodrow Wilson H.S Long Beach, sekolah yang mendapatkan otonomi sekolah terintegrasi dengan sistem pendidikan multikultural. Di sekolah inilah semuanya berawal. Dikisahkan dengan masuknya sosok Ms. Grunwell, seorang wanita berpendidikan tinggi dan idealis yang memutuskan untuk mengajar pertama kalinya  di sekolah ini. Kenyataan yang didapatkan oleh Ms. Grunwell tidak seperti yang dia harapkan. Tidak adanya antusias para murid dalam menerima pelajaran, gesekan yang dapat timbul hanya karena hal sepele yang memicu perkelahian dalam kelas dan sentimen miring dari pihak sekolah sendiri terhadap murid-murid yang dihadapinya. Konflik yang dihadapi Grunwell tak menciutkan nyalinya dalam mengajar. Dia belajar mengenal muridnya dengan pendekatan personal kultural dengan memasuki dunia mereka. Dengan musik rap, permainan kelompok dalam kelas dan pelajaran sejarah kelamnya rasisme tentang peristiwa pembantaian bangsa Yahudi oleh Nazi di Eropa, “Hollocaust”.
Para murid kemudian di ajak mengenal peristiwa tersebut melalui tour di museum, membaca buku “Diary of Anna  Frank” salah satu korban peristiwa Hollocaust dan bertemu dengan Mip Gies, perempuan yang sempat menyelamatkan Anna Frank. Sejarah kelam tersebut akhirnya mengubah pandangan para murid tentang isu rasisme yang sedang mereka hadapi dalam lingkungan mereka. Akhirnya sekat antara murid-murid dalam kelas 203 pun perlahan hilang. Grunwell sendiri kemudian mengajak muridnya untuk menuangkan keseharian mereka dengan menulis di sebuah buku harian.
           Konflik-konflik yang muncul dalam freedom writers memberikan kondisi sebenarnya dalam isu-isu rasisme dan primordial yang mungkin kita alami sendiri hari ini dalam bentuk yang lain. Gesekan rasisme dalam freedom writers digambarkan melalui perang geng dan perkelahian yang terjadi dalam sekolah oleh para siswa. Di dunia nyata hal ini dapat terlihat perkelahian atau penyerangan kelompok yang dapat dilatarbelakangi oleh egosime kelompok, perbedaan kelas ataupun isu agama. Hal yang tidak bisa di lupakan selanjutnya ialah diskriminasi pendidikan yang terjadi dalam sekolah. Pembagian kelas berdasarkan warna kulit, penempatan sebuah kelas yang dipenuhi siswa berprestasi, dan kelas dengan fasilitas yang lebih memadai dari kelas lainnya. Sekolah sebagai almamater pun jadi penjara dengan topengnya sendiri.
         Film freedom writers sendiri diangkat dari novel yang berjudul The Freedom Writers Diary” yang diterbitkan pada tahun 1999. Saya sendiri belum pernah membaca bukunya secara langsung. Sehingga mungkin saja masih banyak hal-hal yang belum sempat tersampaikan dalam versi filmya. Meskipun begitu pesan sederhana yang bisa kita jadikan pelajaran ialah untuk selalu belajar saling menghargai satu sama lain. Learn to respect and creating peace!

Selasa, 17 Desember 2013

AGAMA KITA AGAMA DAMAI

photo by Anti Tank project

Pertikaian agama adalah hal yang paling tak lucu dan paling tak penting dari semua masalah yang ada di bumi atau bahkan di negara ini. Agama yang kalau memang penganutnya tidak berbesar kepala dan kecil otak, harusnya bisa membuat pagi menjadi hangat bukan menjadi panas dan berdarah – darah seperti apa yang diributkan oleh koran setiap kita bangun pagi. Atau menjadikan malam teduh menjadi ribut dan bercuriga ketika televisi di malam hari.

Betapa pintar dan besarnya cinta atau kebanggaanmu sebagai pemeluk salah satu agama di bumi ini, itu tak lantas menjadikan agama menjadi milik mu sendiri. Agama mu tak akan membutuhkan satu orang bodoh yang kelewat norak untuk membunuhi penganut agama lain yang dimatamu salah dan melenceng. Agama bisa memandang lebih luas dan lebih manusiawi melebihi persepsi penganutnya.

Paragraf di atas di tulis oleh Andrew dari blog Anti Tank. Sebuah refleksi kritis tentang fakta masih begitu banyaknya kejahatan kemanusiaan yang terjadi dengan agama sebagai akar permasalahannya. Sudah tidak terhitung berapa banyak nyawa yang hilang akibat pemikirian ekstrimis sempit yang memporak-porandakkan rasa toleransi yang diajarkan didalam agama itu  sendiri. Agama sejatinya mengajarkan kita tentang kebaikan. Jika membunuh sesama manusia dilegalkan dengan alasan agama, maka untuk apa kita beragama?

Agama kita Agama Damai!

Sabtu, 14 Desember 2013

TAMALANREA, KAWASAN PENDIDIKAN YANG TERJUAL

Foto tempat Karaoke Inul Vizta di jl. Perintis Kemerdekaan

Sepanjang jalan Perinis Kemerdekaan menyajikan pemandangan yang semakin mengherankan tiap tahunnya. Tamalanrea yang dulunya di tujukan sebagai kawasan pendidikan terlihat kontradiksi dengan dominasi  ruko dan tempat bernyanyi keluarga.
Tamlanrea merupakan salah satu kecamatan padat penduduk di kota Makassar. Didiami oleh sebagian besar mahasiswa dan masyarakat usia produktif. Kesibukan yang terjadi  di jalan Perintis kemerdekaan sebagai jalan utama padat dari pagi menjelang malam hari.  Deretan kampus  berjejaran seperti  Stimik Dipanegara, STIK AKBA, Politeknik Negeri Ujung Pandang, Universitas Hasanuddin, Universitas Islam Muhammadiyah, Universitas Cokroaminoto, UKIP Makassar dan masih banyak lagi. Banyaknya kampus yang bertempat di daerah inilah yang menjadi cikal bakal Tamalanrea dicanangkan sebagai kawasan pendidikan.
Ditetapkannya Tamalanrea sebagai salah satu kawasan pendidikan terpadu di Makassar termuat dalam Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 6 Tahun 2006 tentang tata ruang wilayah kota Makassar. Dengan tujuan menjadikan Tamalanrea sebagai kawasan pendidikan terpadu yang nyaman bagi pelajar. Rancangan yang dibuat oleh pemerintah saat iu jelas berdampak positif untuk pengembangan kawasan pendidikan kedepannya. Diharapkan Tamalanrea menjadi kawasan yang bisa menunjang aktivitas mahasiswa dalam proses pembelajaran. Bercermin dengan kondisi Tamalanrea hari ini, sepertinya banyak hal yang menjadi pertanyaan.
Dominasi ruko merupakan pemandangan yang bisa dinikmati sepanjang jalan perintis kemerdekaan. Mulai dari yang menyediakan alat tulis keperluan mahasiswa, distro pakaian dan rumah makan. Beberapa tahun terakhir invasi  retail market Alfa mart dan kolega juga menjadikan Tamalanrea sebagai daerah strategis perluasan pangsa pasar mereka. Persaingan yang terjadi antara retail market pun tak kalah sengitnya dengan ruko sepanjang jalan utama. Tiap jalan arteri di kawasan Tamalanrea tak luput dari menjamurnya Alfa. Bahkan di jalan Bung misalnya berjejer setidaknya 4 retail market dalam radius 100 meter. Pemimpin klasemen pasar? Saya tidak bisa menebak, yang pasti warung sederhana milik masyarakat hanya bisa menonton pasrah.
Hegemoni rumah bernyanyi turut memberikan warna baru lahan bisnis di Tamalanrea. Tidak kurang 5 rumah bernyanyi keluarga berdiri di sepanjang jalan Perintis Kemeredekaan. Dengan label rumah bernyanyi keluarga toh yang menjadi konsumsen aktif tiap harinya mayoritas berasal dari kalangan mahasiswa. Dengan gesit sales rumah bernyanyipun melakukan promosi diskon paket bernyanyi sampai ke kampus-kampus seperti Unhas. Menawarkan produknya kepada mahasiswa jelas merupakan isyarat siapa sebenarnya pasar prioritas yang dituju. Yang terbaru, munculnya restoran siap saji CFC di samping Rumah Sakit Pendidikan Unhas menggusur warung bakso yang biasa berjejer disitu dulunya. Mungkin dengan alasan diperuntukkan bagi pengunjung rumah sakit sehingga fenomena CFC ini belum di kritisi lebih jauh oleh mahasiswa Unhas.
Pengembangan kawasan Tamalanrea yang awalnya berkonsentrasi di sektor pendidikan seakan tereduksi oleh sektor bisnis yang tidak memiliki keterkaitan dengan kepentingan pendidikan itu sendiri. Sehingga konsep kawasan pendidikan yang dicanangkan sebelumnya sekrang menjadi abu-abu. Tempat-tempat hiburan pun bermunculan dengan alasan pembenarannya masing-masing. Perizinan dan akal sehat pemerintah mestinya berperan untuk mengembalikan konsep kawasan pendidikan global di Tamalanrea. Bukan menjualnya!

Sabtu, 07 Desember 2013

SISTEM PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA

            
            Seiring dengan terbentuknya Negara modern diberbagai belahan dunia membuat lahirnya beraneka ragam sistem bernegara yang berkembang. Dengan berdasar paham nasionalis dan pengaruh budaya bangsa, Negara-negara harus menyatakan sikap yang tegas mengenai sistem yang digunakan demi berjalannya proses kenegaraan yang stabil. Mulai dari oligarki dan demokrasi muncul sebagai sistem bernegara yang kemudian digunakan negara-negara didunia.
            Oligarki sebagai sistem yang bertahan di Negara kerajaan terbukti mampu memberikan stabilitas keamanan bagi Negara, meskipun sistem ini tidak memungkinkan adanya ruang bagi rakyat biasa menjadi pemimpin tertinggi di negaranya. Lain halnya dengan demokrasi, sebagai sebuah sistem, demokrasi memberikan janji pengaturan sosial yang mempresentasikan ekualitas. Karena itu, demokrasi menjadi sebuah sistem yang sangat ideal untuk mengatur kekuasaan dan partisipasi publik. Pada alam demokrasi, pendapat pejabat, konglomerat, dan rakyat memiliki ekualitas nilai yang setara. Inilah yang menyebabkan demokrasi mencuat sebagai pilihan basis ideology bagi sistem bernegara.
           Bagi Negara yang menganut sistem demokrasi, manifestasi partisipasi publik diwadahi dalam berbagai institusi. Institusi ini kemudian merefleksikan sektor-sektor  pengaturan publik seperti sektor politik, sektor ekonomi, sektor hukum, sektor budaya dan lain-lain. Sehingga sistem demokrasi yang digunakan mesti termanifestasi oleh partisipasi publik untuk menjalankan institusi-institusi tersebut agar proses pemerintahan dapat terlaksana secara demokratis. Dimana pemerintahan demokratis hanya dapat diperoleh melalui suatu mekanisme pemilihan umum yang melibatkan partisipasi publik secara langsung.[1]
Sesuai teori demokrasi klasik pemilu adalah sebuah "Transmission of Belt" sehingga kekuasaan yg berasal dari rakyat bisa bergeser menjadi kekuasaan negara yg kemudian berubah bentuk menjadi wewenang pemerintah untuk melaksanakan pemerintahan dan memimpin rakyat. Pemilihan Umum merupakan salah satu alat dan sarana pelaksanaan kedaulatan yang mendasar pada demokrasi perwakilan di negara. Pemilihan umum juga dapat dirumuskan sebagai mekanisme penyeleksian dan pendelegasian atau penyerahan kedaulatan kepada seseorang calon atau partai yang dipercayai melalui perolehan suara dari masyarakat . Dalam suatu lembaga perwakilan rakyat, seperti DPR atau DPRD, sistem pemilihan ini bisa berupa seperangkat metode untuk mentransfer suara pemilih kedalam suatu kursi dilembaga legislatif atau parlemen. Tetapi , ketika pemilihan itu terjadi pada seorang calon anggota legislatif, sistem pemilihan itu bisa berwujud seperangkat metode untuk menentukan seorang pemenang berdasarkan jumlah suara yang diperolehnya. Singkatnya  , sistem pemilihan ini berkaitan dengan cara pemberian suara, penghitungan suara, dan pembagian kursi.
  • PEMILIHAN UMUM
            Menurut teori demokrasi klasik pemilu merupakan suatu Transmission of Belt sehingga kekuasaan yang berasal dari rakyat dapat beralih menjadi kekuasaan negara yang kemudian menjelma dalam bentuk wewenang pemerintah untuk memerintah dan mengatur rakyat.
Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim - Pemilihan umum merupakan sebuah cara untuk memilih wakil-wakil rakyat. oleh karenanya bagi sebuah negara yang mennganggap dirinya sebagai negara demokratis, pemilihan umum itu wajib dilaksanakan dalam periode tertentu. [2]
Andrew Reynolds menyatakan bahwa Pemilihan Umum adalah metode yang di dalamnya suara-suara yang diperoleh dalam pemilihan diterjemahkan menjadi kursi-kursi yang dimenangkan dalam parlemen oleh partai-partai dan para kandidat. Pemilihan umum merupakan sarana penting untuk memilih wakil-wakil rakyat yang benar-benar akan bekerja mewakili mereka dalam proses pembuatan kebijakan negara.[3]
Untuk Republik Indonesia paling tidak ada tiga macam tujuan pemilihan umum. Ketiga macam tujuan pemilihan umum itu adalah:
  1. memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan secara aman dan tertib
  2. untuk melaksanakan kedaulatan rakyat
  3. dalam rangka melaksanakan hak-hak asasi warga negara.[4]
  • SISTEM PEMILIHAN UMUM
            Sistem Pemilihan Umum merupakan metode yang mengatur serta memungkinkan warga negara memilih/mencoblos para wakil rakyat diantara mereka sendiri. Metode berhubungan erat dengan aturan dan prosedur merubah atau mentransformasi suara ke kursi di parlemen. Mereka sendiri maksudnya adalah yang memilih ataupun yang hendak dipilih juga merupakan bagian dari sebuah entitas yang sama.
Dieter Nohlen mendefinisikan sistem pemilihan umum dalam 2 pengertian, dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas, sistem pemilihan umum adalah “…. segala proses yang berhubungan dengan hak pilih, administrasi pemilihan dan perilaku pemilih." Lebih lanjut Nohlen menyebutkan pengertian sempit sistem pemilihan umum adalah “… cara dengan mana pemilih dapat mengekspresikan pilihan politiknya melalui pemberian suara, di mana suara tersebut ditransformasikan menjadi kursi di parlemen atau pejabat publik."[5]
Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum dengan berbagai variasinya, akan tetapi umumnya berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu:
a.       Single-member Constituency (satu daerah pemilihan memiliki satu wakil; biasanya disebut sistem distrik).
b.      Multi-member Constituency (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil; biasanya dinamakan sistem perwakilan berimbang atau sistem proporsional).[6]
Di samping itu ada beberapa varian seperti Black Vote, Alternative Vote, Sistem Dua Putaran, Sistem Paralel, Limited Vote, Single Non-Transfable Vote, Mixed Member Proportional, dan Single Transfable Vote. Tiga pertama lebih dekat ke sistem distrik, sedangkan yang lain lebih dekat ke sistem proporsional atau semi proporsional.[7]
Selanjutnya akan dijelaskan lebih lanjut mengenai sistem pemilu yang populer digunakan diberbagai Negara, yakni sistem mekanis. Dalam sistem pemilihan mekanis rakyat dianggap sebagai individu-individu yang berdiri sendiri, rakyat inilah sebagai pengendali hak pilih dimana setiap orang mempunyai satu suara. Sistem ini biasanya dilaksanakan dalam dua sistem, yaitu sistem distrik dan sistem proporsional.[8]
·         Sistem Distrik
Dinamakan sistem distrik karena wilayah Negara dibagi dalam distrik-distrik pemilihan (daerah-daerah pemilihan) yang jumlahnya sama dengan jumlah anggota Badan Perwakilan Rakyat yang akan dikehendaki. Umpamanya jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditentukan 500 orang, maka wilayah Negara dibagi dalam 500 distrik pemilihan. Jadi distrik pemilihan diwakili oleh satu orang wakil di Dewan Perwakilan Rakyat. Karena itu dinamakan sistem distrik, atau single member constituencies.[9]
Sistem ini juga dikenal sebagai sistem mayoritas, karena untuk menentukan siapa-siapa yang dipilih sebagai wakil rakyat dari suatu distrik ditentukan oleh siapa yang memperoleh suara terbanyak (suara mayoritas) dan tidak perlu mayoritas mutlak (kemenangan suara 100 persen). Misalnya di distrik A, calon JKW memperoleh suara 10.000, AHK memperoleh suara 8.000, MGA memperoleh suara 5.000, maka yang terpilih sebagai wakil dari distrik A di Badan Perwakilan Rakyat adalah JKW. Jadi tiap distrik diwakili oleh satu orang yang memperoleh suara mayoritas.
a.)    Keuntungan sistem distrik
-          Sistem ini lebih mendorong kea rah integrasi partai-partai politik karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu. Hal ini akan mendorong partai-partai untuk  menyisihkan perbedaan-perbedaan yang ada dan mengadakan kerja sama sekurang-kurangnya menjelang pemilihan umum, antara lain melalui stembuss accord.
-          Fragmentasi partai dan kecenderungan membentuk partai baru dapat dibendung: malahan sistem ini bias mendorong kearah penyederhanaan partai secara alami dan tanpa paksaan.
-          Karena kecilnya distrik, maka wakil rakyat yang terplih dapat dikenal oleh komunitasnya, sehingga hubungan dengan konstituen lebih erat. Dengan demikian si wakil akan lebih cenderung untuk memperjuangkan kepentingan distriknya.
-          Sistem ini lebih sederhana dan murah untuk  diselenggarakan.[10]
b.)    Kelemahan sistem distrik
-          Sistem ini kurang memerhatikan kepentingan partai-partai kecil dan golongan minoritas, apalagi jika golongan-golongan ini terpencar dalam berbagai distrik.
-          Sistem ini kurang representative dalam arti bahwa partai yang calonnya kalah dalam suatu distrik kehilangan suara yang telah mendukungnya. Hal ini berarti bahwa ada sejumlah suara yang tidak diperhitungkan sama sekali, atau terbuang sia-sia. Dan jika banyak partai mengadu kekuatan, maka jumlah suara yang hilang dapat mencapai jumlah yang besar. Hal ini dianggap tidak adil terhadap partai dan golongan yang dirugikan.
-          Sistem distrik dianggap kurang efektif dalam masyarakat yang plural karena terbagi dalam kelompok etnis, religious, dan tribal, sehingga menimbulkan anggapan bahwa suatu kebudayaan nasional yang terpadu secara ideologis dan etnis mungkin merupakan prasyarat bagi suksesnya sistem ini.
-          Ada kemungkinan si wakil cenderung untuk lebih memerhatikan kepentingan distrik serta warga distriknya, daripada kepentingan nasional.[11]
·         Sistem Proporsional
Sistem perwakilan proporsional ialah sistem dimana persentase kursi di Badan Perwakilan Rakyat yang dibagikan kepada tiap-tiap partai politik disesuaikan dengan presentase jumlah suara yang diperoleh tiap-tiap partai politik itu. Umpamanya jumlah pemilih yang sah pada suatu pemilihan umum adalah 10.000.000 orang, dan jumlah kursi di Badan Perwakilan Rakyat ditentukan 100 kursi, berarti untuk satu Badan Perwakilan Rakyat dibutuhkan suara 100.000. Pembagian kursi di Badan Perwakilan Rakyat tersebut tergantung kepada berapa jumlah suara yang didapat setiap partai politik yang ikut pemilihan umum itu.[12]
Agar lebih jelas contoh penghitungannya seperti ini. Jumlah suara suara yang dibutuhkan untuk dapat terpilih sebagai wakil rakyat di Badan Perwakilan Rakyat adalah 10.000 suara. Calon-calon dari partai politik X mendapat suara sebagai berikut ARC dari daerah 1 mendapat 19.000 suara, BDI dari daerah 2 mendapat 9.000 suara, CKE untuk daerah 3 mendapat 7.000 suara dan DRM dari daerah 4 mendapat 5.000 suara. Apabila didasarkan kepada imbangan suara 10.000, maka dari partai politik X yang terpilih hanyalah calon ARC dari daerah 1, sedangkan calon-calon lain tidak memenuhi imbangan suara. Tetapi karena dipraktekkan Hare sistem, maka klebihan suara dari ARC dapat dipindahkan kepada calon BDI, yang akan memperoleh 18.000 suara, kelebihan 8.000 suara dari BDI dapat dipindahkan kepada CKE, sehingga CKE memperoleh 15.000 suara yang berarti masih ada sisa 5.000 suara dan ini dapat dipindahkan ke calon DRM sehingga suaranya cukup 10.000 sesuai dengan imbangan suara yang dibutuhkan. Sehingga tidak ada suara yang terbuang percuma.
a.)    Keuntungan sistem proporsional
-          Sistem proporsional dianggap representative, karena jumlah kursi partai dalam parlemen sesuai dengan jumlah suara masyarakat yang diperoleh dalam pemilihan umum.
-          Sistem proporsional dianggap lebihdemokratis dalam arti lebih egaliteran  karena praktis tanpa ada distorsi, yaitu kesenjangan antara suara nasional dan jumlah kursi dalam parlemen, tanpa suara yang hilang atau wasted. Akibatnya semua golongan dalam masyarakat, termasuk yang kecil pun memperoleh peluang untuk menampilkan wakilnya dalam parelemen. Rasa keadilan masyarkat sedikit banyak  terpenuhi.[13]
b.)    Kelemahan sistem proporsional
-          Lemahnya hubungan antara legislatif terpilih dengan pemilihnya oleh sebab banyaknay calon wakil rakyat yang akan dipilih.
-          Sistem Proporsional juga membuat kantor pusat partai (DPP) memiliki kekuasaan besar untuk menentuk siapa anggota partai yang masuk ke dalam daftar. Akhirnya, Proporsional Daftar sukar dilaksanakan di negara yang tradisi partainya kurang kuat.
-          Sistem proporsional tidak begitu mendukung integrasi partai politik. Jumlah partai yang terus bertambah menghalangi integrasi partai
-          Besarnya kemungkinan wakil lebih terikat dan loyal dengan partai daripada rakyat atau daerah yang di wakilinya

·                              SEJARAH PEMILU DI INDONESIA

Sepanjang sejarah berdirinya NKRI, telah diselenggarakan 10 kali Pemilu anggota lembaga legislatif yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, dan 2009. Pemilu tersebut diselenggarakan sesuai dengan UUD 1945 yaitu:
  • Pasal 18 (3): Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihanumum.
  • Pasal 19 (1): AnggotaDewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum.
  • Pasal 22C (1): Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum; (2) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari seperti jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Berikut ini adalah pemilu-pemilu yang pernah berlangsung di Indonesia:
  • Pemilu 1955, Pemilu di Indonesia pertama kali berlangsung pada tahun 1955 dengan maksud untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Pemilu di Indonesia ini dilaksanakan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR.
Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu. Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955. Tiga besar partai yang menjadi pemenang dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia, Masyumi dan Nahdlatul Ulama
  • Pemilu 1971, Pemilu berikutnya diselenggarakan pada tanggal 3 Juli 1971. Pemilu diikuti oleh 9 Partai politik dan 1 organisasi masyarakat. Tiga besar partai pemenang dalam Pemilu ini adalah Golongan Karya, Nahdlatul Ulama dan Parmusi.
  • Pemilu 1977-1997, Selanjutnya setiap lima tahun sekali Pemilu di Indonesia memilih anggota DPR. Pemilu-Pemilu ini dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu di Indonesia pada tahun ini dilangsungkan pada rezim pemerintahan Presiden Soeharto.
Pemilu di Indonesia masa ini seringkali disebut dengan “Pemilu Orde Baru”. Pemilu tersebut hanya diikuti dua partai politik dan satu Golongan Karya. Kesemuanya dimenangkan oleh Golongan Karya.
  • Pemilu 1999, Pemilu di Indonesia ini dilangsungkan pada tahun pada tanggal 7 Juni 1999 di bawah pemerintahan Presiden BJ Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik. Pemilu ini juga menandai berakihrnya rezim orde baru.Tiga besar Pemilu 1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan
  • Pemilu 2004, Pemilu 2004 berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Selain memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, rakyat juga dapat memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). DPD adalah lembaga perwakilan baru yang ditujukan untuk mewakili kepentingan daerah. Pemilu tahun ini memilih presiden secara langsung.
Pemilu pada 2004 juga merupakan pemilu pertama di mana para peserta dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden pilihan masyarakat (pilpres). Pilpres ini berlangsung dalam dua putaran, karena tidak ada pasangan calon yang berhasil mendapatkan suara lebih dari 50%. Pilpres ini akhirnya dimenangkan oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla.
  • Pemilu 2009, Pemilu tahun 2009 berlangsung pada 8 Juli 2009. Capres Susilo Bambang Yudhoyono yang diusung oleh Partai Demokrat bersama cawapresnya Boediono, berhasil menjadi pemenang dalam satu putaran langsung. Mereka memperoleh suara 60,80%. Mereka mengalahkan pasangan capres-cawapres Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto.[14]
·                                 SISTEM PEMILU IDEAL UNTUK INDONESIA

Penentuan sistem pemilu yang ideal untuk  diterapakan di Indonesia tentunya bukan hal yang mudah, melainkan  berdasarkan yaitu ketentuan dalam konstitusi dan kondisi bangsa Indonesia sendiri. Berdasarkan itu Penulis beranggapan bahwa dalam memilih sistem yang ideal untuk digunakan dalam suatu Negara tentu akan tidak mudah karena sistem yang ada memiliki berbagai kelebihan dan keuntungan, tetapi dalam hal pemilu di Indonesia yang harus di garis bawahi yaitu terkait apa sebenarnya kebutuhan dari Indonesia, sehingga sistem pemilihan yang cocok digunakan di Indonesia ialah sistem pemilihan proporsional dengan pertimbangan:
a.                   Implementasi kedaulatan rakyat
Implementasi kedaulatan rakyat merupakan salah satu tujuan utama diselenggarakannya sebuah pemilihan umum. Dan itu bisa terlaksana apabila setiap pilihan yang dilakukan tetap masuk dalam hitungan jumlah suara dalam pemilu yang tercover dalam sistem proporsional, tidak terbuang seperti halnya yang terjadi dalam sistem distrik
b.                  Cakupan keanekaragaman
Baik dari sisi aliran politik, etnis, maupun agama. Selain itu terdapat keragaman karakteristik wilayah, baik ditinjau dari sisi populasi maupun sumber daya alam. Hal ini tentu juga harus menjadi perhatian untuk menentukan sistem pemilu agar semua keragaman itu terwakili dan tidak menimbulkan kecemburuan yang mengancam integrasi nasional. Sistem proporsional bisa mengcover hal ini karena memberikan ruang yang lebih terhadap peluang suara minoritas untuk mendudukkan wakilnya di parlemen.
Tentunya ada beberapa hal yang juga perlu diperketat untuk membuat pemilu di Indonesia agar lebih sehat, yaitu:
-                      Pendidikan politik kepada masyarakat luas oleh penyelenggara pemilu dan para calon anggota parlemen. Yakni dengan pendekatan atau sosialisasi yang sehat antara sang calon dan pemilih sehingga terjadi kedekatan emosional. Dan menaati segala peraturan kampanye yang ditetapkan oleh penyelenggara pemilu.
-                      Pengaturan partai peserta pemilu, perlu dibuat aturan yang ketat tentang prasyarat partai calon peserta pemilu. Selama ini partai kecil yang turut berpartisipasi terlalu banyak padahal ideology maupun visi yang diusungnya hampir sama dengan partai besar lain.
-                      Persyaratan tentang calon, perlu di buat persyaratan yang ketat dari partai politik tentang para calon yang akan diusungnya. Baik itu tentang tingkat pendidikan yang baik, track record yang bersih, serta dibuatnya komitmen para calon tentang integritas dan visi yang diembannya. Sehingga calon yang diusung memiliki kualitas yang bias dipertanggung jawabkan parpol.
-                      Sanksi yang tegas bagi pelanggar aturan pemilu baik selama kampanye kepada para calon maupun partai politik.

DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo Miriam, Prof, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008
Busroh Abu Daud, Prof., S.H., Ilmu Negara. Jakarta: Bumi Aksara, 2009
Iswandi Syahputra, Rezim Media: Pergulatan Demokrasi, Jurnalisme, dan Infotainment dalam Industri Televisi, Jakarta: Gramedia Pustaka,2013
Budiardjo Miriam, Prof, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008
Busroh Abu Daud, Prof., S.H., Ilmu Negara. Jakarta: Bumi Aksara, 2009
Kusnardi Moh. S.,H. Ibrahim Harmaily S.H., Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta Selatan: Budi Chaniago, 1988





[1] Iswandi Syahputra, Rezim Media: Pergulatan Demokrasi, Jurnalisme, dan Infotainment dalam Industri Televisi (Jakarta: Gramedia Pustaka,2013)
[2] Moh.Kusnardi, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: Sinar Bakti, 1988)

[3] Andrew Reynolds, Merancang Sistem Pemilihan Umum dalam Juan J. Linz, et.al., Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat: Belajar dari Kekeliruan Negara-negara Lain, (Bandung: Mizan, 2001)
[4] Moh.Kusnardi, op.cit., h.330
[5] Dieter Nohlen, Electoral Sistems  (California: Sage Publications, 2008)
[6] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta:Gramedia Pustaka, 2008)
[7] Miriam Budiardjo, op.cit., h.462
[8] Abu Daud Busroh, Ilmu Negara (Jakarta: Bumi Aksara, 2009)
[9] Moh.Kusnardi, op.cit., h.335
[10] Miriam Budiardjo, op.cit., h.467
[11]Miriam Budiardjo, op.cit., h.467
[12] Moh.Kusnardi, op.cit., h.339
[13] Miriam Budiardjo, op.cit., h.467

[14]   Di akses dari ORMITA Online Sejarah dan Pelaksanaan Pemilu di Indonesia pada tanggal 5 Desember 2013