Jumat, 13 Juni 2014

LEMBANNA, DESA DI ATAS AWAN


foto: Caco
Kabut menutupi sepanjang jalan yang saya dan teman-teman UKPM Unhas tempuh dari kawasan hutan pinus Malino ke Desa Lembanna (31/5/14). Salah satu desa yang berada di dataran tinggi Malino Gowa yang selalu ramai oleh para pendaki sebagai tempat persinggahan.
Lembanna sejak dulu terkenal sebagai salah desa yang sangat akrab bagi para pecinta alam di Sulawesi Selatan. Pada masa liburan dan akhir pekan ratusan pendaki bersiap dari rumah-rumah warga untuk mendaki Gunung Bawakaraeng dan Lembah Ramma. 2 destinasi pendakian favorit para pendaki dari berbagai daerah. Perjalanan dari Kota Makassar menuju Desa Lembanna, Malino Kabupaten Gowa dapat ditempuh selama 2 jam lamanya.
“Orang tua dulu bilang kalau di kaki gunung Bawakaraeng akan dikelilingi ular hitam dan lipan. Nah sejak ramai kendaraan lalu lalang sekarang jalanan beraspal sudah ada mengelilingi kaki gunung. Mungkin itu perkataannya orang tua kami dulu yang sekarang jadi kenyataan” ujar Tata Rasyid, salah satu penduduk desa yang sangat akrab dengan para pendaki. Selanjutnya mari menilik cerita dari desa di atas awan ini.
Sejarah awal
Bermukimnya warga di Lembanna berawal dari pindahnya sekelompok kepala keluarga dari kawasan Batu Lapis Malino atas perintah Pemerintah Kerajaan Gowa pada tahun 1932. Pindahnya warga dari Batu Lapis diakibatkan pencegahan tercemarnya sumber mata air yang berada di kawasan itu. Kemudian Pemerintah Kerajaan Gowa saat itu menawarkan sebuah daerah di dataran tinggi yang berada di bawah kaki Gunung Bawakaraeng untuk mereka tempati. Warga pun menyetujui setelah diberikan kebebasan untuk menggarap lahan yang berada di dataran tersebut. Lembanna sendiri memiliki artian tempat berkumpulnya banyak orang. 

foto: Caco
  
                Perekonomian warga
            Berada di dataran tinggi yang memiliki suhu udara yang sejuk sepanjang hari menjadikan tanah di Lembanna sangat subur untuk ditanami berbagai macam sayur-sayuran. Hal ini dimanfaatkan warga untuk menggarap tanah tersebut sebagai sumber penghasilan mereka. Hasil perkebunan seperti wortel, kentang, tomat, dan bawang menjadi komoditas andalan yang memiliki nilai jual bagus di pasar yang dipanen 3 kali dalam setahun. Hasil perkebunan tersebut kemudian dijual di berbagai daerah seperti Gowa, Sinjai, Makassar, Maros bahkan menyebrang ke Pulau Kalimantan. Selain berkebun sebagian warga juga membuka warung-warung kecil di rumah mereka sebagai sumber penghasilan tambahan.
            Warga dan Pendaki
            Berada di bawah kaki Gunung Bawakaraeng menjadikan Desa Lembanna sebagai salah satu tempat persinggahan wajib para pendaki. Untuk mendaki Gunung Bawakaraeng sendiri terdapat 2 jalur yang dapat ditempuh yaitu lewat Lembanna, Gowa dan Sinjai Barat. Dari keterangan Tata Rasyid, pendaki mulai masuk di Lembanna tahun 1971 dan mulai ramai pada tahun 1992. Pendaki-pendaki pertama yang masuk ke Desa Lembanna menjalin hubungan yang sangat baik dengan warga desa. Warga desa yang memiliki pengetahuan medan mumpuni tentang jalur ke Gunung Bawakaraeng sering dimintai bantuan oleh para pendaki. Begitupun dengan pendaki, mereka turut andil dalam mengenalkan bahasa Indonesia baku kepada warga saat itu. Bahkan mereka bisa tinggal berhari-hari di Lembanna untuk mengajarkan bahasa Indonesia kepada warga desa. Sayangnya hari ini banyak pendaki yang sekedar menjadikan rumah warga sebagai tempat persinggahan kendaraan pribadi saja. Tanpa berniat mengenal siapa empunya rumah yang mereka percayai menjaga barang berharga milik mereka. Meskipun begitu rumah warga selalu terbuka bagi mereka setiap saat.
foto: Caco
            Sebagai desa persinggahan menuju Gunung Bawakaraeng menjadikan Desa Lembanna tak pernah sepi. Keramaian tersebut menjadi sumber cerita tersebarnya kabar Lembanna sebagai destinasi yang memiliki daya tariknya sendiri. Selain menikmati pemandangan alam pedesaan yang asri anda juga dapat mengunjungi air terjun Lembanna yang berjarak 1 km dari desa, anda dijamin akan merasakan ketenangan dan kesejukan.

Senin, 14 April 2014

MENGINTIP MAKASSAR DARI MONCONGLOE

foto: Hairuddin La Duri

Comrade, setelah sekian lama teralienasi karena urusan skripsi yang sampai saat penulisan artikel ini juga belum selesai akhirnya kesempatan menghirup udara segar dari ketinggian pun datang. Itupun bukan karena ambisi pribadi, melainkan untuk belajar di sekolah kritis ukpm yang memilih tempat outdoor dari kebisingan kota yang sedang dilanda hegemoni Pemilu 2014. Setelah beberapa kali rapat penentuan tempat, dipilihlah Dusun Moncongloe, Desa Pacellekang Kabupaten Maros sebagai lokasi strategis untuk sekolah kritis kali ini. Dengan pertimbangan jarak yang relatif dekat dari Makassar. Juga pemandangan malam kota yang menurut tim survey lumayan menyegarkan mata.
Moncongloe termasuk dalam wilayah administratif Kabupaten Maros. Meski begitu kita tak harus melewati jalan poros melewati perbatasan Makassar – Maros melewati Bandara Sultan Hasanuddin karena ada rute singkat yang dapat ditempuh. Tepatnya kita dapat melewati rute alternatif melewati Bumi Taamalanrea Permai. Dengan menelusuri jalan lingkar yang menyatukan Maros – Makassar – Gowa yang terletak dibelakang area yang terkenal padat penduduk itu.
Start awal ketika memulai perjalanan dari gerbang BTP cukup memakan waktu setidaknya 30 menit untuk sampai di Desa Moncongloe. Dengan menyusuri jalan sampai ke SMA Negeri 21 dan Pasar Segar kemudian belok kiri sampai ke  kampus Politeknik Negeri Ujung Pandang yang baru. Ketika telah sampai di tempat tersebut rute selanjutnya ialah lurus sampai menemukan jembatan yang melintas sungai kecil disebelah kanan (untuk menemukan jembatan ini jangan malu bertanya) kemudian belok kiri. Sambil disuguhkan pemandangan sungai dan desa nan asri, rute selanjutnya ialah lurus sampai ke pertigaan desa. Setelah sampai pilih jalur Dusun Moncongloe Bulu yang ditandai dengan jalan rusak (proyek gagal) dan terus menyusuri jalan sampai ke pertigaan pabrik aspal pertama. Kemudian belok kiri yang ditandai dengan tanah merah sepanjang jalan. Setelah sampai di rumah warga kendaraan bisa di parkir dan melanjutkan perjalanan sampai ke puncak bukit sekitar 10 menit. Pemandangan Kota Makassar sudah bisa dilihat ketika sudah mencapai villa yang berada diatas.

Makassar dari atas bukit

Tanah merah yang ada di dusun ini juga subur untuk ditanami singkong, ubi, dan buah-buahan. Sampai sekarang masyarakat di Moncongloe memanfaatkan lahannya untuk berkebun dan berternak yang hasilnya dijual ke kota. Sebagian lahan di desa ini pun katanya telah di ekspansi untuk sebagai pengembangan daerah perumahan baru.


kebun warga


ukpmers

Bukit kecil di Moncongloe bisa dijadikan tempat yang pas untuk mengintip gemerlap seantero Makassar dimalam hari. Untuk yang ingin camp, cukup membawa perlengkapan standar seperti tenda, perlengkapan masak, dan minyak tanah untuk membuat api unggun. Di villa sudah ada keran air tawar yang bisa diminta sama penjaganya Waktu perjalanan relatif singkat, tapi untuk kendaraan beroda 2 mesti siap untuk melewati jalan berbatu untuk sampai ke kaki bukit. Penasaran? Sekali waktu datanglah saat waktu senggang.

Jumat, 21 Maret 2014

HILANGNYA KEADILAN DI KAMPUS MERAH

foto : LAW Unhas

Keadilan itu hilang, beriringan dengan akreditasi yang di raih mati-matian. Melahirkan cerita baru tentang penindas dan mereka yang tertindas.”

Kata keadilan menjadi sesuatu yang ramai di perjuangkan mahasiswa universitas hasanuddin akhir-akhir ini. Sesuatu yang di nilai begitu langka dan mahal bagi mereka yang menuntut keadilan itu. Kampus sebagai almamater kaum terdidik menjadi terasingkan oleh tingkah laku mereka yang mengaku sebagai “pendidik”. Sejak Unhas mendapat label akreditasi A oleh BAN PT tahun lalu, beragam anomali aturan kemudian dikeluarkan Komisi Disiplin fakultas. Regulasi yang ada di buat dengan asumsi phobia terhadap kegiatan kemahasiswaan dan mahasiswa yag dapat merusak citra kampus di masyarakat. Mereka yang terlibat dalam polemik lembaga kemahasiswaan, berpenampilan tidak rapi, tak segan di jatuhi sanksi akademik, skorsing dan drop out oleh Komdis fakultas. Dengan alasan melanggar, Komdis tak segan melakukan tindakan represi dengan alasan pembenarannya.
Dengan bertopeng Komisi Disiplin, dosen-dosen terpilih menggunakan kuasanya menjatuhkan satu per satu sanksi kepada mahasiswa yang di anggapnya bebal. Dosen sebagai pendidik dalam institusi pendidikan merupakan pihak yang memiliki tanggung jawab melahirkan generasi intelektual yang berani, cerdas dan peka terhadap berbagai ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat. Generasi yang kritis, berpikiran bebas dan idealis dalam menyalurkan semangat mudanya. Tapi bilamana keadaan terbalik, dimana kampus mengekang gerakan mahasiswa dengan aturan yang mengada-ada, maka kampus tak ubahnya hanya menjadi sebuah pabrik. Pabrik yang menciptakan buruh siap kerja. Buruh yang selalu tunduk dengan segala aturan yang dibuat oleh sang majikan.
      Beragam cerita kemudian lahir dari perjuangan mahasiswa-mahasiswa yang menuntut keadilan. Dari fakultas kehutanan semangat perlawanan itu menggugat.
      Awal semester ini fakultas kehutanan di hebohkan dengan aturan cara berpakaian yang di keluarkan birokrasi fakultas. Aturan yang mengatur etika, cara berpakaian, bahkan panjang rambut mahasiswanya. Etika dan cara berpakaian dalam ruangan kelas jelas tak menjadi soal, tapi ketika panjang rambut atau akrab di sebut “gondrong” turut mereka urusi sontak aturan tersebut memicu perdebatan. Adakah orang waras yang bisa menjelaskan korelasi panjang rambut dengan isi kepala? bukankah isi kepala di tentukan bagaimana seorang mahasiswa rajin mengasah otaknya dengan berkuliah dalam kelas ataupun berproses di lembaga kemahasiswaan?. Aturan kontroversial tersebut jelas sangat lucu bagi kampus yang terkenal sebagai kampus terbesar di indonesia timur. Intervensi cara berpakaian dan penampilan kemudian di jadikan senjata untuk mengadili mahasiswa di fakultas kehutanan.
     Akumulasi kekecewaan terhadap ancaman komdis fakultas tak hanya terjadi di fakultas kehutanan. Di fakultas teknik, mahasiwa teknik yang berada di fakultas teknik samata Gowa di larang mengikuti proses pengkaderan tingkat jurusan yang di laksanakan Himpunan Mahasiswa Jurusan FT UH di Tamalanrea. Ancamannya tak main-main, jika melawan skorsing dan DO menjadi solusi. Penggiat lembaga kemahasiswaan Teknik tak diam lembaga kemahasiswaan mereka dikebiri, Aliansi Teknik Menggugat siap memberikan perlawanan.
         Keharmonisan itu telah luntur. Masalah-masalah yang seharusnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan telah digantikan sikap otoriter birokrasi. Beragam ancaman di keluarkan untuk mengekang gerakan mahasiswa. Tekananan – tekanan yang muncul membuat legitimasi pendidik menjadi bias. Keluhan-keluhan dari mahasiswa di tanggapi dingin oleh pengadilan komdis yang hanya akan menimbulkan masalah baru.  Upaya menyeragamkan model mahasiswa adalah sebuah kesalahan besar yang nantinya akan menciptakan mahasiswa yang hanya tahu Kuliah – Kantin - Rumah.
         Dunia kampus hari ini begitu kejam, perilaku pendidik yang hanya bisa mengintervensi mahasiswanya dengan aturan dan ancaman hukuman mencoreng citra kampus sebagai rumah kaum intelektual. Birokrasi harusnya membuka ruang dialog atas segala masalah yang terjadi. Perenungan juga harus dilakukan birokrasi untuk memperbaiki kinerjanya yang mendapat kritikan. Bukan dengan langsung menjatuhkan sanksi dan melakukan tindakan represi. Kerena ketika hal tersebut membudaya, maka mahasiswa hanya menjadi kaum yang ditindas. Alhasil ketika birokrasi menutup mata terhadap berbagai masalah yang terjadi maka keadilan hanya menjadi sekedar cita-cita bagi mereka yang memperjuangkannya. 

Jumat, 28 Februari 2014

SAVE GONDRONG UNHAS!

SAVE GONDRONG UNHAS!


foto : Esa Ramadana

             Kita hidup dimasa yang lucu. Terlalu lucu untuk ditertawai. Bukan karena lawakan verbal atau akting jenaka yang membuat terpingkal. Tapi karena kebodohan tiada tara yang justru berasal dari sekelompok orang yang memperkenalkan dirinya sebagai seorang pendidik di Kampus Merah. Kelompok yang memiliki tugas mulia dalam mencerahkan masyarakat dan menjadi panutan bagi mereka yang mereka didik. Kenyataannya dalam kurun 2 tahun terakhir cerita pengebirian lembaga kemahasiswaan, sanksi akademik yang irasional hingga pembunuhan karakter mahasiswa yang dilakukan oleh birokrasi yang bebal semakin menggema. Dengan semangat world class university kerja-kerja lembaga kemahasiswaan dimata-matai, penyeragamaan pola pikir dan penampilan juga turut mereka urusi. Sampai ke titik dimana panjangnya rambut seorang mahasiswa atau yang akrab disebut “gondrong” dijadikan barometer baru dalam pemberian sanksi akademik di fakultas kehutanan semester ini.
            Gondrong, riwayatmu dulu
            Menurut awal mula sejarah, rambut gondrong dipopulerkan pertama kali oleh suatu kelompok yang melakukan counter culture, yakni kaum Hippies di tahun 1960-an di Amerika Serikat. Hippies memiliki ciri khas yang berbeda dengan fashion umum lainnya, mereka memakai pakaian warna – warni, berpakaian seenaknya, rambut dibiarkan panjang tak dicukur, dan memelihara jenggot bagi kaum pria. Hippies dijadikan dasar gerakan untuk bebas dari budaya yang dominan saat itu serta mengharapkan terjadinya perubahan sosial dan politik diantaranya, gerakan anti perang Vietnam dan hak asasi manusia, gerakan mahasiswa, perempuan, gerakan hak kaum homoseksual, dan pelestarian lingkungan hidup.
            Di Indonesia, menjamurnya model rambut gondrong tidak lepas dari pengaruh musik rock yang di dominasi musisi yang berambut gondrong. Sebut saja, Godbless, Gang Pegangsaan dan Slank. Rambut mereka yang panjang menjadi simbol kebebasan anak muda saat itu dalam berkarya di dunia seni.
            Dalam perkembangnya, budaya rambut gondrong di Indonesia mendapat kecaman dari pencitraan yang diberitakan media. Stereotyping lelaki berambut gondrong disimbolkan sebagai identitas seorang pelaku kriminal. Hal ini dapat di lihat lewat judul-judul pemberitaan yang mendiskreditkan rambut gondrong seperti yang dimuat di harian Pos Kota pada Oktober 1973: “7 Pemuda Gondrong Merampok Bis Kota”, “Waktu Mabuk di Pabrik Peti Mati: 6 Pemuda Gondrong Perkosa 2 Wanita” dan “5 Pemuda Gondrong Memeras Pakai Surat Ancaman”. Upaya mengkriminalisasikan rambut gondrong menjadi salah satu cara Orde Baru pada saat itu mengontrol gejolak dan ketidakpuasan generasi muda terhadap kekuasaan pada saat itu.
           Di Unhas sendiri fenomena gondrong tidak jarang untuk ditemui. Hampir di semua fakultas mahasiswa berambut gondrong dapat kita jumpai. Bahkan banyak dosen yang dulunya dikenal sebagai aktivis juga memanjangkan rambutnya. Ketua KPK yang berasal dari fakultas hukum pun, Abraham Samad dikenal sebagai aktivis tulen dengan rambut gondrong pada zamannya.
            Aturan dan akal sehat
            Perlahan-lahan birokrasi fakultas memberlakukan aturan baru tentang cara berpakaian yang dianggap sopan bagi mahasiswanya. Mulai dari pakaian, alas kaki, hingga tata krama dalam kelas. Dalam kacamata mahasiwa aturan yang diberlakukan tersebut dianggap wajar untuk menghargai proses belajar formal dalam kelas. Tetapi lain halnya ketika panjang rambut seorang mahasiswa pun harus diurusi dan berpengaruh terhadap nilai sampai penjatuhan sanksi akademik. Birokrasi sebagai pihak yang memiliki kuasa dalam pembuatan aturan melakukan reproduksi wacana yang sadis kepada  mahasiswa berambut gondrong. Focault mengatakan, “pada saat kuasa terkonsolidasikan menjadi 'dominasi', resistensi masih tetap mungkin dilakukan, hanya saja jauh lebih sulit dilakukan. Dominasi sendiri menunjuk pada relasi kuasa yang bersifat asimetris yang didalamnya orang-orang yang tersubordinasi memiliki sedikit ruang untuk bermanuver karena 'ruang kebebasan untuk bertindak sangat terbatas' oleh karena efek dari kuasa”. Berlakunya larangan berambut gondrong adalah pelanggaran hak asasi manusia yang bersifat an sich bagi mahasiswa. Apalagi aturan yang dibuat tidak berlandas dari aturan  yang jelas dari dirjen pendidikan nasional ataupun renstra universitas melainkan hanya akal-akalan birokrasi saja.
            Fenomena larangan gondrong tak boleh dianggap sebagai masalah sepele bagi civitas akademika Unhas. Seperti penyakit yang mewabah, virusnya akan menyebar ke setiap fakultas jika riak-riak perlawanan urung muncul dari kawan-kawan fakultas kehutanan. Kita jangan lupa arogansi birokrasi fakultas teknik yang menjatuhkan sanksi akademik bagi mahasiswanya yang menyebar ke birokrasi fakultas sastra beberapa waktu lalu.
            Panjang atau pendek rambut seorang mahasiswa adalah pilihannya sendiri. Penulis yakin seorang yang waras tidak akan menemukan relevansi antara rambut pendek ataupun gondrong dengan isi kepala seorang mahasiswa. Kecuali…logika kita telah mati!

Penulis Zulfikar

Anggota UKPM Unhas

Rabu, 26 Februari 2014

INI BUKAN TENTANG RUPIAH

INI BUKAN TENTANG RUPIAH




Jika kamu bilang berapa harganya
Aku jawab, kalau ini tentang rupiah
Aku memilih tidak menerima sepeserpun
Ini tentang hakku dan mereka
Ini tentang ruang hidup kami
Yang nilainya takkan sanggup kau mengerti

Jika ini semua hanya tentang rupiah
Segalanya mudah ditebak: orang kaya toh yang akan menang
Tapi kau takkan pernah tahu
Benteng solidaritas kami takkan mudah runtuh oleh seranganmu!
Karena itu dibangun bukan dari rupiah

Jika hidup hanya tentang rupiah
Hidup hanyalah siklus tanpa kesenangan
Segalanya adalah rutinitas yang akan sangat membosankan
Makanya kami memilih hidup sederhana
Sembari melawan orang-orang yang hanya gila rupiah


Penulis: Este

Selasa, 18 Februari 2014

THE ACT OF KILLING MENDAPAT PENGHARGAAN



“Kasus Tahanan Politik G-30 S adalah pelanggaran HAM paling keji yang pernah dilakukan oleh Indonesia terhadap bangsanya sendiri, mungkin disepanjang sejarah bangsa Indonesia”
Yap Thiam Hien
            The Act of Killing sebuah film besutan Joshua Oppenheimer mendapat penghargaan film dokumenter terbaik dalam ajang BAFTA Awards Film Festival 2014 di Inggris. Film yang menampilkan reka ulang pembantaian anggota PKI oleh Anwar Congo mendapat respon penonton sebagai salah satu cerita tersadis dalam sejarah modern sebuah bangsa.
            Fenomena tragedi politik 1965 telah dipalsukan dengan rapih pada masa orde baru yang dipimpin oleh Soeharto. Label PKI sebagai aliran terlarang di Indonesia dengan pembantaian anggota partai dan underbow nya menyisakan sakit dan neraka akibat sanksi sosial sampai hari ini. Rilis resmi tentang jumlah korban tragedy politik 1965 sendiri masih simpang siur, mulai dari 500 ribu hingga 3 juta jiwa  melayang dari Sumatera, Jawa, Bali dan Sulawesi. Gerakan pembantaian yang dilakukan oleh masyarakat yang otaknya telah diracuni stigma anti PKI menjadi semangat para eksekutor, mulai dari Pemuda Pancasila, Banser dan GP Ansor tak segan menjadi tukang jagal.
            Film yang dibuat Joshua ini sendiri merupakan antitesis terhadap propaganda film yang dibuat di masa orde baru seperti Pengkhianatan G30S/PKI (1984) dan Penumpasan Sisa- Sisa PKI Blitar Selatan (1988). Film-film yang menyudutkan PKI dalam sejarah seakan-akan dibuat tak berarti apa-apa dibandingkan cerita bagaimana Anwar dan teman-temannya menghabisi anggota PKI satu persatu di Sumatera Utara. Dalam alur cerita di The Act of Killing Anwar Congo bermain sebagai dirinya sendiri sebagai preman bioskop yang geram dengan perilaku orang-orang PKI yang anti barat. Film-film bioskop yang notabenenya saat itu dikuasai film barat sebagai primadona dilarang pemutarannya oleh aktivis PKI. Anwar yang penghasilannya menurun kemudian menaruh dendam. Dan ketika darah anggota PKI diberitakan menjadi halal, Anwar Congo tak segan memenggal kepala mereka.
          Anwar bersama teman-temannya memainkan adegan demi adegan berdasarkan ingatan mereka. Mulai dari penculikan, penyiksaan, dan seni mencabut nyawa diperankan secara natural. Dengan gaya cerita dimana Anwar sendiri yang menentukan apa dan bagaimana proses pembantaian anggota PKI, nurani penonton akan diguncang. Yang tak kalah menarik ialah bagaimana cerita para pelaku pembantaian menjalani kehidupannya sekarang. Ada yang mendapat posisi di pemerintahan dan duduk di parlemen.
            Dalam jawabannya di Tempo Joshua ingin menyampaikan seprti apa kebudayaan yang terbangun ketika para pembunuh menang, berkuasa, memerintah dan memimpin masyarakat. Anwar dan filmnya hanya simbol dari seluruh peristiwa kekerasan yang dialami orang Indonesia sejak 1965.
                   Semoga The Act of Killing bisa mengubah cara pandang masyarakat Indonesia tentang sejarah kelam 1965.

Kamis, 13 Februari 2014

PERJALANAN SEBUTIR DEBU

Sebuah Epilog



            Dulu kau hanya debu, lalu menjelma menjadi makanan, sesuap di mulut ayahmu, sesuap di mulut ibumu, partikel dalam rahim ibumu, partikel dalam kandung mani ayahmu, ayah dan ibumu menikah, partikel itu dan partikel ini menyatu lalu menjelma engkau dalam rahim ibumu, seperti telur dalam rahim ayam, dengan kehangatan tubuh ibumu, darahnya beredar di sekujur tubuhmu, kau terwujud, kau terbentuk bagai ayam di dalam telur, dalam eraman induknya, sembilan bulan, sembilan hari, sembilan jam berlalu, ibumu merasakan kesakitan, kau retakkan dinding telur, kau menyembul, kau jatuh dalam buaian, matamu tidak dapat melihat, telingamu tidak dapat mendengar, kakimu tidak mampu menyangga tubuhmu, tanganmu tidak dapat menggapai sesuatu, pikiranmu tidak bekerja, kau tidak memahami apapun, kau tidak mengenal siapa pun, kau hanya tahu tiga hal ini:
menyusu…mengompol…menangis
            Seratus tahun kemudian, matamu tidak dapat melihat, telingamu tidak dapat mendengar, kakimu tidak dapat berjalan, pikiranmu, tidak dapat bekerja, kau tidak dapat memahami apapun, kau tidak mengenal siapapun, kau tergolek di tempat tidur, kau hanya tahu bagaimana melakukan tiga hal:
.…!,....!,....!
            Tiba-tiba kau mati, kau tenggelam dalam rahim bumi, sekali lagi, kau menjelama debu, tiada apa pun tersisa darimu, Kecuali bahwa kau tetap ada!
            Manusia beredar seperti bumi, waktu, musim semi, seperti sesuatu air, bunga, pohon, mentari galaksi, semesta, yang berputar, kau bukan apa-apa, kau hanya debu, kau beredar, kau tidak menjadi apa-apa, kau hanya menjadi debu, apa yang tertinggal darimu?
            Yang tertinggal hanyalah kesalehan yang kau kerjakan, yang tertinggal adalah setiap kebaikan yang kau kerjakan (untuk manusia).
“Sebentuk ka’bah: para peziarah mengelilinginya
Dari batu hitam ke batu hitam,
Lahirlah kehidupan tetumbuhan,
Dari lumut hingga beringin
Dan hewan, dari mikroba hingga gajah,
Akhirnya manusia”
(Ali Syari’ati)
          1933 - 1977

Senin, 06 Januari 2014

Wiji Tukul



Tulisan singkat ini saya rangkum dari artikel yang dimuat di Majalah Tempo dan blog kumpulan fiksi. Tentang Wiji Tukul, demonstran yang hilang tapi tak terlupakan. Semoga menginspirasi.
Pada suatu siang Agustus 1996, dia pamit kepada istrinya untuk pergi bersembunyi. Sejak itu, penyair pelo ini mengembara dari satu kota ke kota lain, menghindar dari kejaran jenderal-jenderal di Jakarta yang marah-marah menuding puisinya menghasut para aktivis untuk melawan pemerintah Orde Baru. Tapi, bahkan setelah rezim Soeharto tumbang, Wiji Thukul tak juga pulang.
Wiji Tukul yang bernama asli Wiji Widodo, seorang penyair kerakyatan dari Solo. Ia adalah salah satu dari 13 korban penculikan yang terjadi pada periode 1996-1998, yang hingga kini tidak diketahui kepastian keberadaannya.
Puisi-puisi Wiji Tukhul sangat melekat terutama di kalangan aktivis gerakan pro-demokrasi yang senantiasa digemakan dalam berbagai aksi untuk membangun semangat. Puisi-puisi Wiji Thukul yang semula terhimpun dalam lima kumpulan buku puisi, kini telah disatukan ke dalam buku: Aku Ingin Jadi Peluru.Buku ini diterbitkan oleh Penerbit TERA, Magelang. Buku ini berisi 136 puisi yang dibagi atas lima buku atau lima kumpulan puisi. Buku 1: Lingkungan Kita Si Mulut Besar berisi 46 puisi.. Buku 2: Ketika Rakyat Pergi berisi 17 puisi. Buku 3: Darman dan Lain-lain berisi 16 puisi. Buku 4: Puisi Pelo berisi 29 puisi. Dan Buku 5: Baju Loak Sobek Pundaknya berisi 28 puisi. Dalam catatan penerbit, Buku 5 merupakan kumpulan sajak-sajak yang ditulis Wiji Thukul ketika ia berada di masa pelarian
Banyak yang menduga dia menjadi korban penculikan dan pembunuhan menjelang Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat 1998. Istri dan beberapa kerabat dekatnya percaya dia masih hidup dan suatu ketika akan kembali.
Namun, Wiji Thukul tak pernah kembali. Lelaki cadel itu--ia tak pernah bisa melafalkan huruf “r” dengan sempurna--dianggap membahayakan Orde Baru. Ia “cacat” wicara, tapi ia dianggap berbahaya.
Rambutnya lusuh. Pakaiannya kumal. Celananya seperti tak mengenal sabun dan setrika. Ia bukan burung merak yang mempesona. Tapi, bila penyair ini membaca puisi di tengah buruh dan mahasiswa, aparat memberinya cap sebagai agitator, penghasut.
Selebaran, poster, stensilan, dan buletin propaganda yang ia bikin tersebar luas di kalangan buruh dan petani. Kegiatannya mendidik anak-anak kampung dianggap menggerakkan kebencian terhadap Orde Baru. Maka ia dibungkam. Dilenyapkan.

PERINGATAN
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!.
(Wiji Thukul, 1986)

SAJAK SUARA
sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku
suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diamaku
siapkan untukmu: pemberontakan!
sesungguhnya suara itu bukan perampok
yang ingin merayah hartamu
ia ingin bicara
mengapa kau kokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?
sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ialah yang mengajari aku bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti kutukan

P E N Y A I R

jika tak ada mesin ketik
aku akan menulis dengan tangan
jika tak ada tinta hitam
aku akan menulis dengan arang
jika tak ada kertas
aku akan menulis pada dinding
jika aku menulis dilarang
aku akan menulis dengan
tetes darah!

sarang jagat teater
19 januari 1988

AKU MASIH UTUH DAN KATA-KATA BELUM BINASA

ku bukan artis pembuat berita
Tapi aku memang selalu kabar buruk buat penguasa

Puisiku bukan puisi
Tapi kata-kata gelap
Yang berkeringat dan berdesakan mencari jalan
Ia  tak mati-mati, meski bola mataku diganti
Ia tak mati-mati, meski bercerai dengan rumah
Ditusuk-tusuk sepi, ia tak mati-mati
telah kubayar yang dia minta
umur-tenaga-luka

Kata-kata itu selalu menagih
Padaku ia selalu berkata, kau masih hidup

Aku memang masih utuh
dan kata-kata belum binasa

(Wiji Thukul.18 juni 1997)